Calon Dari Ibu

197 44 4
                                        


Bu Lastri berjalan keluar dari gedung dengan langkah tergesa. Dadanya sudah terasa sesak. Ia tidak memedulikan panggilan Luvina dan Fanisa yang berjalan di belakangnya. Pun, pandangan orang-orang yang ditemuinya di jalan.

"Loh, Bu? Kok, udah pulang?" tanya Adisti heran. Ia sedang menikmati rujak mangga bersama Nizar di teras. Namun, tidak ada jawaban dari ibunya itu. Bu Lastri langsung masuk ke rumah disusul Luvina.

Fanisa memilih untuk duduk di teras. Ia menduga permasalahan yang sedang terjadi adalah tentang kakak sulungnya. Ia yakin sekali akan hal itu. Keluarga besarnya tentu sudah membicarakan Luvina begitu melihat kakaknya itu hadir di pernikahan Dita. Rasa sesal menghinggapi perasaan ibu satu anak itu karena memaksa Luvina pulang ke rumah.

"Mbak, ada masalah apa, sih?" tanya Adisti yang masih penasaran. Fanisa hanya menggelengkan kepala lemah. Ia hanya mampu mendesah pasrah saat mendengar nada bicara Bu Lastri yang mulai meninggi.

Di dalam rumah, Bu Lastri meluapkan emosi yang sedari tadi ditahannya. Objek pemicunya pun ada di hadapannya. Luvina masih terdiam, menunggu ibunya menyelesaikan semua amarahnya.

"Orang-orang di luar itu hanya paham kalau kamu itu telat nikah dan jadi perawan tua, Luvi. Kamu mau terus diomongin sebagai perempuan sok cantik, sok pintar, dan sok jual mahal? Ibu yang dengar sakit hati rasanya." Bu Lastri berulang kali mengusap dadanya. Air mata sudah membasahi pipi yang mulai keriput itu.

Luvina mendekat ke samping Bu Lastri. Ia lalu mengusap air mata yang membasahi wajah perempuan yang paling disayanginya. Luvina menggenggam erat tangan yang sudah memberinya banyak kasih sayang itu.

"Maaf sudah membuat Ibu sakit hati dengan keputusanku. Aku nggak masalah dengan semua omongan orang, Bu. Biarkan aja mereka berbicara sepuas hati mereka."

Luvina masih tidak habis pikir tentang stigma orang-orang di sekitarnya terhadap perempuan yang terlambat menikah. Jodoh, hidup, dan mati sepenuhnya sudah diatur Allah. Masyarakat terkadang beropini negatif dan menganggap jika pandangan merekalah yang paling benar.

"Luvi, sekarang Ibu nggak mau ngalah lagi sama kamu." Bu Lastri menatap kosong ke depan. "Ibu nggak peduli lagi dengan rencanamu menikah menunggu Adisti jadi sarjana."

Luvina tercengang mendengar pengakuan Bu Lastri.

"Ibu mau kamu menikah secepatnya. Kalau kamu masih menganggap Ibu sebagai orang tuamu, tolong turuti permintaan Ibu."

Luvina kembali tersentak. Ia tidak menyangka keyakinan sang ibu akan impiannya itu goyah walaupun selama ini Bu Lastri tidak pernah mengatakan setuju atas prinsipnya tersebut. Luvina bisa bertahan dengan tekanan dari masyarakat tidak lain karena Bu Lastri tidak pernah secara frontal memintanya segera menikah.

"Luvi masih mau membiayai adik-adik sampai lulus kuliah, Bu."

"Nggak perlu dipikirkan lagi. Ibu yang akan biayai Adisti kuliah." Bu Lastri menatap Luvina tajam. "Nggak perlu khawatirkan adikmu lagi. Mereka baik-baik aja. Kamu itu yang membuat kami cemas!"

"Jangan bilang ibu mau jual sawah warisan Bapak." Luvina bertanya dengan penuh hati-hati. Beberapa kali ibunya pernah menawarkan untuk menjual sawah yang sekarang masih disewa orang lain. Luvina dengan tegas menolaknya. Warisan almarhum ayahnya akan ia pertahankan untuk tidak pindah ke tangan orang lain.

"Kata paklekmu, sudah ada yang minat mau beli sawah itu. Ibu tinggal bilang iya aja untuk persetujuan."

Luvina kembali dibuat tercengang mendengar fakta yang terungkap. Ia terus memohon pada Bu Lastri untuk tidak menjualnya.

"Baiklah, ibu tidak akan menjualnya. Tapi, kamu harus segera menikah."

Luvina mengembuskan napas panjang. Ia memegang kepalanya seraya menunduk. Permintaan Bu Lastri sangat sulit diwujudkannya. Bukan hanya karena prinsipnya yang ingin menuntaskan pendidikan sang adik terlebih dahulu. Namun, karena keadaannya yang memang belum dipertemukan dengan jodoh.

BERBURU SUAMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang