Adik Bayi

238 50 4
                                        


Pratama mengamati wajah Luvina dengan saksama. Penampilan Luvina malam ini membuatnya terheran-heran. Pemuda itu sampai menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Bu Luvi lagi sakit mata?" tanya Pratama khawatir. Saat ini, dirinya sedang mengambil revisian skripsi di laboratorium.

"Engak! Nih, revisianmu. Cepetan pergi." Luvina terus menundukkan wajahnya. Ia menghalau pandangan Pratama yang masih mengamati matanya dengan menempelkan tangan pada alis.

Pratama menerima lembaran kertas yang diberikan Luvina. "Terus, ngapain pakai kacamata hitam, Bu?"

"Lagi pingin gaya aja. Sudah pergi sana." Luvina terus mengusir Pratama. Namun, pemuda itu enggan beranjak dari posisinya.

"Pasti ada yang nggak beres ini." Pratama masih curiga dengan penampilan Luvina saat ini. Langit sudah gelap, begitu pula dengan cahaya lampu di dalam ruangan yang tidak terlalu terang. Tidak ada alasan untuk memakai kaca hitam di sini kecuali sedang  sakit mata.

Luvina risih dengan tatapan Pratama yang begitu lekat itu.

"Ah, saya paham. Hidung Bu Luvi merah, nih. Pasti habis nangis, ya?"

"Sok tau!" Luvina melipat kedua tangannya di depan dada.

"Yakin, nih. Habis nangis karena nonton drama Korea, 'kan?"

Luvina menyeringai. Ia lalu manggut-manggut. Terserah Pratama mau bilang apa, yang penting mata sembabnya tidak tampak.

"Ehem," Dehaman singkat seketika membuat Pratama menegakkan punggungnya. Suara Ganesa langsung membuatnya bergeming. "Revisian sudah diambil?"

"Sudah, Pak. Terimakasih."

"Kalau gitu sampai ketemu lagi besok lusa." Ganesa merangkul bahu Pratama, lalu mengajakknya keluar.

Pratama tidak mampu berkelit. Dosennya itu merangkulnya sampai  melewati pintu kantor. Sejujurnya, ia masih ingin berbincang dengan Luvina.

Luvina memperhatikan dosen dan mahasiswa itu sambil tertawa kecil.  Ia sangat berterimakasih pada Ganesa yang sudah menjauhkan Pratama dari hadapannya.

"Tumben lagi bener Pak Ganesa."

Luvina tersenyum seraya merapikan mejanya. Tinggal satu orang yang belum mengambil berkas. Jika sepuluh menit kemudian belum datang, ia terpaksa menutup kantor karena jam sudah menunjuk pada angka delapan. "Eh, kok, ada Pak Ganesa di kantor?"

Luvina baru menyadari setelah Ganesa berlalu dari hadapannya. Ia lalu menepuk dahinya berulang kali. "Duh, malu!"

Luvina yakin jika Ganesa mendengar tangisannya karena hanya ada satu pintu keluar di ruangan ini. Setelah telepon tadi, ia tidak melihat ada yang keluar masuk. Luvina menutup wajahnya seraya memekik tertahan. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana besok jika bertemu dengan Ganesa.

***

Mobil Pajero sport berwarna putih yang dikemudikan Ganesa berbelok ke area  perumahan yang terletak di tengah kota Malang. Ia menepikan kendaraan di depan rumah berpagar putih yang merupakan huniannya. Meskipun ada Shanum di dalam, ia tidak ingin merepotkan putri kesayangannya itu untuk membukakan pintu.

"Baru pulang dari kampus, Pak?" sapa Kafin, tetangga sebelah rumah Ganesa yang juga mengajar di universitas yang sama.

"Iya, nih, Mas. Lembur ngurus jurnal belum beres juga."

Ganesa tidak langsung membuka pagar. Ia berjalan ke arah Kafin yang sedang menggendong bayi laki-laki berusia tiga bulan.

"Mantap. Calon guru besar Universitas Surya Gemilang bertambah lagi."

BERBURU SUAMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang