Ego

220 45 1
                                    


"Aduh! Tega bener kamu, Ndel." Nizar mengaduh seraya mengusap keningnya yang menjadi korban sepatu terbang milik Luvina. Ia tidak menduga akan mendapat penyiksaan semacam ini karena mengerjai Luvina.

"Rasain, Lu! Bikin was-was aja."

Luvina masih menggerutu. Ia memang mempunyai janji dengan Nizar untuk makan malam. Rencananya, mereka akan bertemu di warung tenda yang menyajikan lalapan dengan sambal yang lezat langganan dua sahabat itu. Namun, ternyata Nizar malah menyusulnya ke kampus.

"Mau ngetes aja. Kamu beneran udah berani di kampus sampai malam apa enggak?" Nizar mengingat kebiasaan Luvina yang selalu minta jemput setelah selesai lembur di kantor. Namun, beberapa bulan terakhir, sahabatnya itu sudah tidak pernah meminta bantuannya.

"Bilang aja kamu khawatir, Zar." Luvina menyeringai jail. "Gengsi banget mau ngakui."

"Hah? Ngomong apa?" Nizar mengejek Luvina dengan berpura-pura tidak mendengar.  Ia juga mendekatkan telinganya ke wajah Luvina.

"Eh, ngapain pakai kacamata hitam, Ndel?" Nizar baru menyadari penampilan aneh Luvina. "Coba liat."

Luvina menahan kacamata yang akan diambil paksa oleh Nizar. "Ish, enggak mau."

"Lepas, Ndel!" Nizar mulai khawatir. Ia paham sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja. Luvina akhirnya pasrah saat benda hitam itu menjauh dari wajahnya. "Astagfirullah, kenapa kayak disengat lebah itu mata?"

Luvina sontak memasang wajah cemberut mendengar ejekan yang terlontar. Nizar tidak pernah suka melihat dirinya berurai air mata. Terutama saat ditinggalkan Redi. Merespon dengan gurauan adalah cara untuk menunjukkan rasa peduli terhadap dirinya.

"Nggak pa-pa. Kita makan bakso dulu biar mood membaik." Nizar menepuk bahu Luvina lembut.

"Nggak jadi lalapan?"

"Obat galaumu yang ampuh itu cuma semangkuk bakso dengan kuah pedas."

"Uhm, so sweet," ucap Luvina yang sontak memegang kedua pipi seraya berkedip-kedip. Ada keharuan menyeruak mendapati Nizar yang sudah memahami kebiasaannya bahkan yang terkecil sekalipun dengan baik. Luvina sungguh bersyukur memiliki sahabat super perhatian seperti Nizar.

"Aduh, geli amat itu respon. Dasar lebay," ucap Nizar seraya mencebik kesal.

Mereka pun terbahak bersama. Dua sahabat itu mulai melanjutkan perjalanan menuju kedai bakso.

Tidak lama kemudian, Luvina dan Nizar sudah sampai di lokasi yang berada lima belas menit dari kampus. Letaknya di perbatasan tepi barat kota dan kabupaten Malang.

Nizar pun menuju meja kasir untuk memesan. Biasanya, ia paling malas melakukannya. Saat ini, melihat kondisi Luvina, dirinya ingin memperlakukan dengan baik sahabatnya itu.

"Mau cerita apa tadi?" tanya Luvina begitu Nizar sampai di meja. "Persiapan lamaran udah beres, 'kan?"

Nizar menggelengkan kepala dengan raut wajah berubah sendu. "Tiara udah seminggu nggak bisa dihubungi. Aku butuh menyiapkan tiket ke Makassar secepatnya."

Luvina terkesiap. Satu minggu menghilang saat persiapan lamaran sedang dilakukan itu terasa janggal menurutnya. Tidak mungkin karena kendala sinyal. Rumah Tiara berada di tengah kota.

"Sosial medianya juga nggak bisa dihubungi?"

"Semuanya. Sampai Toktok pun tidak ada konten terbaru lagi."

Luvina  manggut-manggut. "Kamu nggak nyimpen nomor telepon adiknya?"

"Nyimpenlah. Masalahnya, pesanku nggak ada yang dibalas. Ditelepon pun nggak diangkat. Gimana aku nggak jadi negative thinking, Ndel?"

BERBURU SUAMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang