"Sore, Bu." Pratama—mahasiswa Jurusan Biologi—mendekat ke meja Luvina. Wajahnya terlihat semringah.
"Kenapa, Tam? Skripsimu dicoret lagi sama Pak Ganesa?" tanya Luvina tanpa membalas sapaan Pratama.
Pratama menggeleng sambil tersenyum memperlihatkan kedua lesung pipinya. Ia lalu membuka ransel yang menggantung di bahu. Pemuda itu mengeluarkan satu kantong plastik berwarna putih dengan logo boneka lebah berwarna merah."Buat nemenin Bu Luvi lembur," ucap Pratama seraya meletakkan kantong tersebut di atas meja Luvina.
Luvina memperhatikan pemberian Pratama. Ada roti isi cokelat butir kesukaannya dan dua botol minuman yoghurt. Ia lalu menegakkan punggungnya, kemudian menatap Pratama penuh selidik. "Kamu mau nyogok buat apa lagi ini?"
Pratama sontak menggerakkan kedua tangan. Akhir-akhir ini, ia memang kerap menemui Luvina dengan membawa bingkisan. "Ikhlas ini, Bu. Nggak pernah ada maksud apa-apa. Beneran, deh."
Salah satu sudut bibir Luvina tertarik ke atas. Ia masih curiga dengan sikap manis mahasiswa tingkat akhir itu. "Oke, saya terima. Thank you, ya."
"Sama-sama, Bu." Wajah Pratama kembali berseri. Matanya tidak lepas memperhatikan gerak-gerik Luvina yang masih sibuk dengan laptop di depannya.
Lima menit berlalu. Luvina yang sedang fokus dengan pekerjaannya, melirik ke arah depan. Masih ada Pratama yang senyum-senyum.
"Masih di sini?" tanya Luvina ketus. Ia merasa risih didekati oleh mahasiswa itu.
Pratama mengangguk cepat. Ia tidak sadar jika Luvina tengah mengusirnya.
Luvina meraih roti yang diberikan Pratama, lalu memakannya. "Nih, udah saya makan."
Pratama mengacungkan kedua ibu jari tangannya. Senyuman dengan hiasan lesung pipi itu kembali terlihat. Namun, tidak lama kemudian, semuanya pudar saat Luvina menggerakkan telapak tangannya meminta Pratama keluar dari ruangannya.
"Yah, saya masih pingin ngobrol sama Bu Luvi." Wajah Pratama berubah memelas.
"Tuh, kan. Pasti ada maunya kamu ini."
"Bukan gitu, Bu."
Luvina bangkit dari duduknya. Ia kembali meminta Pratama segera keluar dari ruangannya. Sejak bulan lalu, pemuda itu kerap mendatanginya dengan berbagai kepentingan. Dari hal yang penting menyangkut perkuliahan sampai masalah sepele seperti tadi.
"Saya sibuk, nih. Sudah sana pergi." Luvina mendorong Pratama untuk segera keluar. Sementara pemuda itu juga bersikukuh tetap tinggal.
Kelakuan dua manusia berbeda generasi itu membuat Vindi yang sejak tadi mengamati mereka berdua jadi terbahak."Eonni!"
Luvina yang sedang sibuk mengusir Pratama, langsung menoleh ke sumber suara. Ia lega, ada Shanum yang menjadi alasan untuk membuat pemuda itu keluar dari ruang kerjanya.
"Saya ada tamu, Tam. Makasih buat rotinya, ya." Luvina melambaikan tangan ke arah Pratama yang masih berdiri di depan pintu dengan wajah memelas. Ia pun bergegas menghampiri Shanum. "Udah mau pulang?"
Shanum tidak merespon pertanyaan Luvina. Matanya fokus ke arah pintu.
"Eonni, apa Kim Bum kuliah di sini?" Kalimat yang terucap dari bibir dengan polesan lip balm tersebut terdengar lirih.
"Hah, Kim Bum? Maksud kamu apa, Num?"
"Itu, ada Kim Bum." Shanum menunjuk Pratama yang masih berdiri dekat pintu.
Luvina mengikuti arah telunjuk Shanum. Ia langsung tergelak begitu melihat sosok yang dianggap gadis berwajah imut itu sebagai Kim Bum—aktor Korea Selatan.
![](https://img.wattpad.com/cover/281468505-288-k353890.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BERBURU SUAMI
Literatura Feminina_SUDAH TERBIT E-BOOK dengan judul (Bukan) Jodoh Kesiangan Luvina Septia Sari, karyawan tetap di kampus berusia tiga puluh tiga tahun. Ia masih belum menikah di usia tersebut. Pilihan hidup menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya belum juga memu...