07

27 9 4
                                    

Sebagai manusia kita hanya dituntut untuk bisa saling mengerti bukan menghakimi.


Mulai hari ini aku sudah memutuskan untuk tidak berharap apapun lagi ke Aksa, aku akan mencoba untuk berhenti mencintainya.

Aku ingin berhenti menyiksa diri dengan segala ketidakpastian ini, aku ingin menjalani hari-hariku dengan lebih bahagia lagi, tanpa adanya sebuah harapan yang tidak pasti.

Aku tahu ini sulit, aku tahu ini tidak mudah, dan aku juga belum tentu mampu untuk melakukannya, tapi mencoba tidak ada salahnya bukan?

"Hari ini Aksa nggak jemput, Yar?" Suara Bunda akhirnya memecah keheningan yang terjadi di ruang makan pagi ini, dan lagi-lagi topik pertama yang menjadi bahasan adalah Aksa.

Hari-hari sepertinya memang tidak luput dari kehadiran laki-laki itu, bisa dibilang duniaku, dunianya juga, bagaimana tidak, kita hidup dibelahan bumi yang sama, saling berdekatan, tapi tidak bisa disatukan.

"Nggak tahu Bun, tapi hari ini aku berangkat sama Abang aja deh, Bang Tirta ada kelas pagi kan hari ini?"

"Tumben banget lo mau berangkat sama gue? Kenapa, tengkar sama Aksa?" Tanya Bang Tirta menyelidik.

Seketika aku menggelengkan kepala, berusaha menyangkal apa yang ditanyakan oleh Bang Tirta.

"Enggak kok, gue sama Aksa baik-baik aja, emang salah ya kalo adek pengen berangkat bareng sama Abangnya?"

"Yaudah, kalau kamu pengen berangkat sama Abang, kamu telfon Aksa dulu, kasihan nanti dia sampek sini tapi kamunya udah berangkat," Sahut Ayahku menengahi.

"Iya Yah, ini mau Yara telfon kok,"

Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.

"Tumben banget nomornya nggak aktif, udah deh Yara berangkat sama Abang aja ya, kalau nungguin Aksa keburu telat nanti,"

"Yaudah Bun, Yah, biar hari ini Yara berangkat sama Tirta aja. Kasihan nungguin kepastian dari Aksa lama banget ya, Yar?"
Ucap Bang Tirta sambil tersenyum jahil, sialan memang.

"Ck, ngomong apa sih lo Bang? Yaudah Yara sama Abang berangkat dulu, assalamu'alaikum." Pamitku kemudian menyalimi Ayah dan Bunda.

***

Dari pagi tidak ada satupun guru yang memasuki kelasku, hal ini tentu sangat menyenangkan terutama bagi siswa pemalas sepertiku.

Alih-alih belajar, yang aku lakukan dari tadi justru hanya mengbrol dengan Clara, membicarakan hal-hal yang sebenarnya tidak penting untuk dibicarakan.

"Eh Clar, kayaknya gue mau nurutin omongan lo deh,"

Aku mulai membuka topik pembicaraan tentang Aksa, mungkin ini yang akan menjadi satu-satunya perbincangan yang lumayan bermutu siang ini.

"Omongan yang mana? Omongan gue kan banyak," Tanya Clara yang saat ini tengah asik berkutat pada ponselnya.

"Gue mau mundur, gue mau berhenti berharap sama Aksa,"

Clara seketika langsung mengalihkan atensinya kepadaku, "Yang bener? Nggak yakin gue,"

"Gue serius, gue udah mikirin ini semaleman suntuk gila,"

Mencintaimu Itu LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang