Happy reading 💗
Aku selalu bodoh jika itu tentang kamu, Sa.-Yara Leta Destia
***
Pagi ini aku terbangun masih dengan perasaan yang sama, kacau, rapuh tapi belum hancur.Yang ada di kepalaku sekarang hanya Aksa. Sebenarnya Aku ingin sekali membuang pikiran itu, membuangnya jauh sampai aku tidak bisa memikirkannya lagi.
Kepalaku juga terasa sangat pusing, mungkin karena tadi malam aku menangis sampai dini hari, meratapi realita yang lagi-lagi tidak sesuai dengan ekspetasi.
Semesta kadang memang terlihat jahat, tapi pernahkah kita sadar bahwa sebenarnya semesta tidak pernah jahat? Andai saja jika dari awal kita tidak pernah menaruh ekspetasi apapun, bukankah kita juga tidak akan pernah terluka? Jika dari awal kita tidak pernah berandai-andai, bukankah kita juga tidak akan pernah kecewa?
Faktanya kita sendiri yang jahat, kita sendiri yang membentuk luka-luka itu, bukan semesta.
Aku menoleh, menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 pagi, menandakan bahwa matahari sudah siap untuk melakukan tugasnya lagi. Begitu juga dengan aku, siap tidak siap aku juga harus bisa melakukan tugasku dengan baik hari ini.
Seperti matahari yang bersinar terang, aku pun juga harus begitu, terlihat terang, terlihat bersemangat, terlihat bahagia dan terlihat baik-baik saja.
Setelah semuanya siap, aku berjalan gontai menuju ruang makan, selain kepalaku yang terasa pusing, tenagaku juga seakan terkuras habis, entahlah apa penyebabnya.
Terlihat Bunda sedang sibuk menata makanan di atas meja, padahal di sana masih belum ada siapa-siapa.
"Pagi, Bunda." Sapaku lalu duduk di kursi yang ada di depan Bunda.
"Pagi, sayang. Tolong panggilin Ayah sama Abang dong, Yar," Pintanya lembut.
Baru saja aku akan beranjak dari kursi, kulihat Ayah dan Bang Tirta berjalan beriringan dari arah luar.
"Wah, enak nih makanannya," Ucap Bang Tirta mulai mengeluarkan suaranya.
Kemudian semuanya sibuk dengan makanannya masing-masing. Sedangkan aku hanya duduk termenung, menatap kosong pada makanan yang masih terlihat mengepulkan asapnya. Aroma masakan Bunda sama sekali tidak berhasil mengusikku. Nafsu makanku hilang entah kemana pagi ini.
"Loh kamu nggak makan, Yar?" Ayah melontarkan pertanyaannya.
Aku hanya menggeleng singkat sambil tersenyum tipis, "Minum susu aja Yah, lagi nggak nafsu makan,"
Ayah hanya mengangguk menanggapi ku.
Entah benar atau tidak, aku merasa Bang Tirta sedang menatap ku sekarang. Manusia satu itu memang yang paling peka diantara yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencintaimu Itu Luka
Teen FictionIni tentang Yara dan Aksa, tentang mereka yang terbiasa sama-sama, mereka yang mungkin juga pernah sakit karena rasa yang tidak sengaja mereka pelihara, karena ragu yang selalu membuat mereka bisu. Lalu bagaimana akhirnya? Adakah salah satu dari mer...