"ketentuannya adalah yang terbaik dan tidak ada yang lebih baik dari ketentuannya."
***
Happy reading ❤
Setelah Aksa tidak terlihat lagi dari pandanganku, aku menghela nafas panjang lalu tersenyum tipis.
Kukira kemarin, bertemu dengan Aksa adalah solusinya, kukira semua masalah akan selesai jika aku bertemu dengannya. Tapi ternyata itu salah, semua justru semakin rumit sekarang, semua justru terasa semakin sulit setelah aku bertemu dengannya.
Dia yang ku lihat hari ini, seperti bukan dirinya, dia terlihat seperti orang asing.
Perlahan aku kembali melangkahkan kakiku, menjelajahi lorong-lorong dan setiap sudut dari sekolah ini.
Aku tersenyum nanar, menyadari diriku yang benar-benar terlihat menyedihkan. Ternyata menghilangnya dia beberapa hari kemarin bukan semata-mata karena kebetulan, melainkan sebuah simulasi yang kini benar-benar terjadi, sebuah latihan perihal kehilangan.
Kini aku tidak sedang menangis, aku juga tidak sedang merintih, tetapi di dalam kepalaku terdapat banyak sekali kekhawatiran, kekhawatiran tentang bagaimana caraku menapaki bumi setelah ini, kekhawatiran tentang bagaimana caraku bertahan sedangkan selama ini aku terlalu banyak bergantung dengannya.
Nyatanya kehilangan paling menyakitkan bukanlah disaat kita tidak mampu melihat sosoknya lagi, tapi ketika kita masih mampu melihat sosoknya dengan begitu jelas, tapi sedikitpun kita tidak pernah mampu untuk menggapainya.
Tidak terasa langkahku yang perlahan sudah berhasil membawaku sampai di depan kelas XI IPA 2.
Seharusnya sekarang aku sedang merasa takut, atau paling tidak merasa sedikit khawatir karena aku sudah jelas sangat terlambat.
Tapi alih-alih merasakan itu, aku justru tidak merasakan apa-apa, aku sudah pasrah dengan apapun yang terjadi kepadaku setelahnya.
Bahkan dengan santainya aku berjalan memasuki kelas ini. Aku yang dari awal tidak pernah meminta keberuntungan apa-apa, pagi ini aku justru merasa sudah berkali-kali diselamatkan.
Mulai dari tidak ada guru piket yang menjaga di depan tadi, dan sekarang aku tidak melihat keberadaan guru di kelas.
Tapi lagi-lagi aku biasa saja, tidak merasa bahagia apalagi jumawa karena aksi buruk ku pagi ini tidak diketahui oleh guru.
Baru saja aku berhasil duduk di kursi, aku mendengar Dion tengah bertanya kepadaku.
"Tumben banget Yar, lo hari ini telat?"
Meski enggan aku tetap menjawabnya, meskipun dengan jawaban yang sama sekali tidak mengenakkan.
"Bukan urusan lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencintaimu Itu Luka
Teen FictionIni tentang Yara dan Aksa, tentang mereka yang terbiasa sama-sama, mereka yang mungkin juga pernah sakit karena rasa yang tidak sengaja mereka pelihara, karena ragu yang selalu membuat mereka bisu. Lalu bagaimana akhirnya? Adakah salah satu dari mer...