kalau memang sudah waktunya, entah bagaimanapun caranya Tuhan tetap akan mengambilnya.
Berbicara tentang kematian, tentu tidak ada satupun manusia di dunia ini yang bahagia karena hal itu. Kehilangan orang yang kita sayang adalah hal yang paling menyakitkan dan pasti akan kita alami. Mengenai kapan, aku yakin semua makhluk Tuhan tidak ada yang tahu mengenai itu.
Dan sekarang, waktu itu datang untuk Aksa. Aksa kehilangan satu-satunya orang yang mungkin paling dekat dengannya melebihi siapapun. Nek Suti, Nek Suti telah pergi meninggalkan Aksa sendirian disini.
Di sudut kamar yang gelap, dapat kulihat Aksa sedang duduk melamun sambil memeluk kedua lututnya. Dia terlihat begitu kacau, rambutnya tampak acak-acakan, kedua kantung matanya pun menghitam, bibirnya kering dan pucat. Dia lebih cocok disebut mayat hidup sekarang.
Perlahan aku memasuki ruangan gelap itu, menyusuri setiap sudutnya lalu berakhir duduk di sampingnya, di samping manusia yang masih memiliki nyawa tapi terlihat seolah mati.Kehilangan sosok yang sangat berarti untuknya, membuat ia ikut kehilangan separuh jiwanya juga.
Untuk sesaat aku membiarkan hening merajai semuanya, aku hanya menatap kosong pada tirai yang sedang menari-nari di depan sana, berusaha untuk menyusun kalimat terbaik untuk ku sampaikan padanya, berharap bahwa sepenggal kalimatku ini bisa sedikit membantunya.
"Sa, gue disini, gue bersedia untuk menjadi sandaran buat lo kapan pun itu, gue udah bilang ini berkali-kali, gue bakal selalu ada buat lo, kapan pun lo butuh,"
Sejenak aku menghela nafas panjang, rasanya begitu sesak, jika aku saja bisa sehancur ini, lalu bagaimana dengan Aksa? Dia pasti berkali-kali lebih hancur.
"Meskipun gue belum pernah ngerasain ini, meskipun kayaknya hidup gue juga nggak serumit hidup lo, tapi gue paham, kehilangan tidak pernah membuat manusia baik-baik saja, dan untuk tidak baik-baik saja itu nggak papa, Sa, ayo nangis kalau itu memang bisa sedikit membuang sesak yang ada di hati lo, lo nggak perlu berusaha untuk jadi kuat di depan gue, Sa,"
Untuk sesaat suasana tetap hening, detak jarum jam pun juga tidak terdengar dalam ruangan ini.
Sampai pada akhirnya aku mendengar suara itu, suara isakan yang begitu pilu, sura tangis yang membuktikan betapa hancur dirinya saat ini. Rasanya seerat apapun pelukan yang akan aku berikan tidak sedikitpun membantunya untuk menjadi lebih kuat. Lukanya terlalu parah, semua sisi dunia berusaha menikamnya tanpa pernah memberinya jeda.
"Yar, Nenek pergi, Papa nyalahin gue,"
"It's okey, it's okey, Sa," Akhirnya aku pun ikut terisak karenanya, walaupun tidak sesakit Aksa tapi aku mampu merasakannya.
Disini aku juga merasa kehilangan, tapi lebih besar dari itu aku juga merasa kasihan kepada Aksa. Betapa malang jiwa itu, betapa buruk sikap dunia kepadanya. Ketika ia belum dewasa, Tuhan sudah mengambil wanita yang telah melahirkannya ke dunia, dan sekarang ketika dunianya juga sedang tidak baik-baik saja Tuhan kembali mengambil seseorang yang sangat berarti baginya.
"Tapi semuanya emang salah gue, gue salah Yar, gue selalu salah dalam segala hal. Harusnya malam itu gue nggak pergi, harusnya gue tetep di rumah. Kata Papa, Mama bakalan benci sama gue karena gue sudah menghilangkan satu-satunya harta yang sangat Mama sayangi. Gue salah Yar, gue pembunuh, harusnya dari awal gue nggak pernah hidup,"
"Stttt, jangan ngomong kaya gitu, jangan nyalahin diri lo kaya gitu Sa,"
Aku mendekapnya, berharap aku bisa sedikit saja menyalurkan kekuatanku untuknya, kekuatan untuk membantunya terus bertahan. Raga ini terlihat begitu rapuh, atau bahkan sudah nyaris hancur. Kata-kata apapun mungkin tidak akan sanggup untuk menguatkannya.
"Sa, lo percaya takdir? Lo pernah denger kan, kalau memang sudah waktunya, entah bagaimanapun caranya Tuhan tetap akan mengambilnya. Ada atau tidaknya lo di rumah ini pada malam itu, Nek Suti akan tetap pergi, karena memang sudah waktunya untuk dia pergi, kedua tangan lo pun pasti tidak akan mampu untuk menahannya Sa. Dan soal Mama lo, kenapa dia harus marah? Selama ini lo sudah melakukan yang terbaik, selama ini lo sudah berbakti dengan sangat baik kepada Nek Suti, nggak ada satu alasan pun untuk Mama lo marah, justru dia bangga, Sa. Dalam kematian tidak ada yang bersalah, karena semua memang sudah waktunya, jadi jangan pernah mengutuk diri lo lagi kayak gitu ya?"
Untuk kesekian kali, aku memutuskan untuk kembali. Aku kembali pada titik awal, aku kembali untuk mencintai Aksa. Rasanya aku terlalu jahat jika memutuskan untuk pergi sekarang. Aksa sedang membutuhkan figur pendukung sebanyak mungkin, Aksa sedang membutuhkan sebuah uluran tangan dari siapapun yang berada di sekelilingnya, bahkan itu belum tentu cukup.
Aku egois jika aku hanya memikirkan perasaanku sendiri, sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyelamatkan hati, sekarang juga bukan momen yang pas untuk kabur melarikan diri. Sekarang adalah waktunya untuk aku kembali untuk mengulurkan sebuah bantuan lagi, meskipun aku harus terluka sekali lagi.
***
Hai aku kembalii🙆
Ada yang kangen nggak? Nggak lah ya pasti wkwk
Komen dong gimana part 8 nya, udah dapet belum feel nya😭
Terimakasih banyak untuk kalian yang mau baca ceritakuu, lopyu sekebonn💗
Jangan lupa vote + komen yaa biar aku tambah semangatt
See u next part dadaa❤💐
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencintaimu Itu Luka
Teen FictionIni tentang Yara dan Aksa, tentang mereka yang terbiasa sama-sama, mereka yang mungkin juga pernah sakit karena rasa yang tidak sengaja mereka pelihara, karena ragu yang selalu membuat mereka bisu. Lalu bagaimana akhirnya? Adakah salah satu dari mer...