Happy reading ❤️🩹
Clara yang menyadari aku ditatap seperti itu, seketika ia menghentikan langkahnya. Dia menatap tajam sekumpulan siswi yang sedang berkerumun di depan kelas mereka.
Dengan lantang dia berbicara, "Kalau berani ngomong langsung dong, jangan bisik-bisik kaya gitu. Lagian gue heran ya, kenapa sekarang orang-orang pada gabut banget ngurusin urusan orang lain, kalian semua kalau gabut mending jadi babu gue aja deh, daripada ghibah nggak jelas kaya gini,"
Salah satu dari mereka menjawab ucapan Clara, "Lah, pd banget lo Clar? Siapa juga yang ngurusin urusan lo. Kita itu cuma kasihan sama sahabat lo itu, nggak tau ya, selama ini Yara itu dianggep apa sama Aksa, pelarian? Atau cuma temen gabutnya? Tapi yang jelas kasian banget sih, makanya lain kali yang pinter dikit dong Yar jadi cewek, jangan mau aja digantungin, kalau udah kaya gini, kan lo sendiri juga yang rugi. Iya nggak, guys?"
Demi apapun, aku tidak bisa berkata-kata lagi. Yang bisa aku lakukan sekarang hanya diam, diam seperti orang bodoh yang pasrah dengan semua cacian yang diterimanya.
Karena jujur saja aku merasa apa yang dikatakan mereka memang benar, aku sama sekali tidak mempunyai alasan untuk menyangkal apalagi membela diri.
"Wah, mulut lo ya, kaya nggak pernah disekolahin tau nggak! Asal lo tau, Yara nggak pernah jadi pelampiasan atau pelarian siapapun, lo nggak tau apa-apa, jadi mending lo diem, daripada omong kosong lo itu jadi mempersulit keadaan orang lain."
"Udah, Clar. Nggak ada gunanya ngeladenin mereka. Gue nggak mau semuanya jadi makin rumit, jadi sekarang kita pergi aja ya, Clar?"
Sambil menarik pelan lengan Clara aku berkata demikian, berharap bisa meredam sedikit emosi Clara yang sekarang sedang meletup-letup minta dikeluarkan.
"Yar, ya nggak bisa gitu lah! Justru mulut mereka itu yang nantinya mempersulit masalah lo, kalau lo cuma diem aja, mereka jadi semakin semena-mena sama lo!"
Clara berucap setengah berbisik, tapi meski begitu penekanan dari setiap kalimatnya tetap terdengar jelas ditelingaku.
Tapi alih-alih menanggapi nasehatnya, aku justru memilih pergi dari sana, jika Clara berfikir bahwa meladeni mereka adalah cara yang terbaik, tapi bagiku tidak.
Aku adalah manusia yang sangat membenci pertengkaran, bahkan tak jarang aku lebih memilih mengalah daripada harus bertengkar dengan orang lain. Jadi untuk masalah ini pun sama, aku tidak ingin memperpanjang masalah dengan cara meladeni omong kosong mereka.
Salah, bukan omong kosong. Karena semua ucapan mereka memang benar adanya, aku bodoh, aku terlalu bodoh dalam mencintai Aksa. Aku terlalu buta sampai-sampai aku tidak bisa melihat bahwa Aksa tidak pernah mempunyai rasa yang sama dengan rasa yang aku punya.
***
Tidak lama kemudian, Clara sampai dikelas. Dilihat dari wajahnya dia terlihat sangat marah, aku tidak tahu dia marah dengan siapa, apakah dengan sekelompok siswi tadi atau justru dengan aku sendiri?
"Yar, sumpah gue nggak tau lagi sama jalan fikiran lo. Lo nggak bisa gini terus. Lo nggak bisa terus diem. Lo tau hasil dari kediaman lo selama ini? Kecewa, sedih, lo hancur gara-gara lo diem terus digantungin sama Aksa. Selama ini lo diem, nunggu keajaiban Aksa ngungkapin perasaannya ke lo, tapi apa? Apa yang lo dapet? Lo nggak dapet apa-apa Yara!"
Sampai sekarang aku masih setia diam, aku tidak peduli Clara berbicara apa. Aku tahu maksudnya, tapi aku tidak bisa mengikuti cara berfikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencintaimu Itu Luka
Teen FictionIni tentang Yara dan Aksa, tentang mereka yang terbiasa sama-sama, mereka yang mungkin juga pernah sakit karena rasa yang tidak sengaja mereka pelihara, karena ragu yang selalu membuat mereka bisu. Lalu bagaimana akhirnya? Adakah salah satu dari mer...