Aku ingin seperti hujan, yang rela terjatuh berkali-kali demi sejahtera yang terjadi di bumi, seakan tidak peduli dengan rasa sakitnya, hujan tetap bersedia untuk jatuh lagi dan lagi.
-Yara Leta Destia
***
Jalanan ramai ibu kota selalu menjadi objek favoritku, melihat manusia berlalu lalang selalu berhasil membuat aku merasa hidup, selalu berhasil membuatku sadar bahwa kehidupan masih terus berlangsung, bahwa kehidupan masih terus berjalan, tidak peduli ada dan tidaknya dia di sampingku.
Dari rooftop cafe ini aku bisa melihat dengan jelas bahwa langit malam ini tampak kosong, tidak ada bulan dan bintang yang menghiasinya. Langit masih tetap terlihat indah, hanya saja ada yang kurang, ada bagian yang belum hadir di sana.
Seperti hidupku jika nanti Aksa benar-benar pergi, mungkin kedepannya semua akan tetap berjalan indah, tapi ada bagian yang kurang, ada bagian yang nantinya akan kosong dan siapapun tidak mampu mengisinya.
"Yara?"
Mendengar panggilan itu aku menoleh, dapat kulihat Zidan tengah berdiri di sampingku. Entah mendapat pemikiran darimana aku berfikir bahwa ini adalah peluangku, peluang untuk mencari tahu tentang Aksa.
"Zidan? Lo ngapain disini?" Tanyaku basa-basi.
Laki-laki itu tertawa renyah, kemudian ia menjawab.
"Pertanyaan lo lucu benget sih, Yar, ya logikanya ngapain orang dateng kesini?" Zidan justru balik bertanya.
Aku tidak menjawabnya lagi, aku lebih memilih kembali memusatkan pandanganku pada jalanan ramai dibawah sana. Sampai akhirnya laki-laki itu bersuara lagi.
"Gue boleh duduk disini nggak nih? Biar sekali-kali gue kelihatan lagi jalan sama cewek,"
Aku berdecak kesal mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Zidan, tapi meskipun begitu pada akhirnya aku tetap mengangguk, mempersilahkan laki-laki itu untuk duduk di depan ku.
Setelah menyeruput coklat panasku sedikit, aku mulai memusatkan pandanganku pada Zidan.
"Dan, lo tau sesuatu nggak tentang Aksa? Soalnya dari jum'at kemaren nomor dia nggak aktif, gue bingung banget harus ngehubungin dia gimana lagi,"
Meskipun ragu, akhirnya aku memilih untuk menanyakannya.
Dapat kulihat Zidan mengernyit bingung, " Lah lo nggak tahu, Aksa kan ganti nomor, Yar."
Aku terdiam sesaat mendengar jawaban itu, apa katanya tadi? Aksa mengganti nomornya? Bukankah ini lucu, laki-laki itu mengganti nomornya tapi dia sama sekali tidak menghubungiku. Kenapa dia terlihat seperti tengah menghindariku?
Aku tertawa sumbang, lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri, "Mungkin dia belum sempet ngehubungin gue kali ya, Dan?"
Zidan menghela nafas panjang, "Lo jangan menaruh harapan setinggi itu ke Aksa, Yar. Gimanapun juga Aksa itu manusia, yang bisa bikin lo kecewa kapan aja." Zidan berucap sambil menyorotku sendu.
Iya, ucapannya memang benar, tidak sepantasnya aku menaruh harapan setinggi itu kepada Aksa, tidak sepantasnya aku berharap kepada manusia, manusia bisa kapan saja membuat kita kecewa bukan? Dan selama ini aku seakan melupakan fakta itu.
"Lo bener Dan, tapi lo tahu gue kan? Gue akan tetap berdiri di tempat yang sama, selama semesta belum menunjukkannya."
Aku berucap yakin, kalimatku memang terdengar ambigu, tapi aku yakin Zidan pasti dapat memahaminya. Seperti kata Awan, semua bisa dengan mudah melihat itu, dan aku yakin Zidan juga bisa melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencintaimu Itu Luka
Teen FictionIni tentang Yara dan Aksa, tentang mereka yang terbiasa sama-sama, mereka yang mungkin juga pernah sakit karena rasa yang tidak sengaja mereka pelihara, karena ragu yang selalu membuat mereka bisu. Lalu bagaimana akhirnya? Adakah salah satu dari mer...