• Bagian empat belas

698 59 6
                                    

Aku tidak pernah tau apa yang sebenarnya Tuhan rencanakan untuk kita.

- Bulan & Kaivan -

---

Pagi yang begitu cerah, mentari tampak begitu senang menyinari bumi dengan cahayanya. Namun, sepertinya pagi itu terasa begitu mendung untuk Bulan, Ia terlihat sangat tidak bersemangat untuk menjalani hidupnya. Tetapi, mengingat rencananya hari ini, Ia berusaha menguatkan dirinya sendiri jika Ia pasti bisa.

Bulan menatap sebuah koper besarnya yang sudah siap, dengan helaan napas berat, Bulan pun beranjak dari posisi duduknya lantas membawa kopernya untuk keluar dari kamar hotel.
Langkahnya memang terburu-buru tetapi, tatapan kedua matanya terlihat kosong.

Setelah sampai di depan hotel tersebut, Ia melihat taksi yang sudah Ia pesan tadi baru saja sampai. Kaca taksi itu terbuka, memperlihatkan seorang laki-laki setengah baya yang tampak tersenyum ramah ke arahnya.

"Dengan Mbak Bulan, ya?" tanya supir tersebut.

"Iya, Pak!"

"Mari Mbak silahkan masuk!" Bulan mengangguk kemudian masuk ke dalam taksi lantas taksi tersebut melaju meninggalkan hotel.

"Ini tujuannya ke mana, Mbak?"

"Ke Bandara ya, Pak. Tolong cepat, saya takut terlambat!"

"Baik, Mbak."

Bulan lagi-lagi menghela napasnya, kepalanya menoleh, menatap ke luar jendela melihat beberapa kendaraan lain yang juga melintas.

Pa, papa dulu pernah ngajarin ke Bulan, kalau suatu saat kalau Bulan dewasa, terus Bulan punya masalah, seberat apapun itu, Bulan nggak boleh menyerah dan nggak boleh lari dari masalah itu. Tapi, sekarang Bulan udah nggak bisa, Pa. Bulan nggak bisa sekuat dulu, harapan Bulan sudah berkali-kali dihancurkan oleh takdir yang selalu nggak berpihak ke Bulan.

Mama, mama juga ngajarin ke Bulan untuk menjadi perempuan yang kuat, seperti mama. Tapi nyatanya, Bulan juga nggak bisa ngelakuin itu. Bulan akui Bulan sekarang adalah Bulan yang lemah, Bulan udah bener-bener kehilangan tujuan hidup Bulan, ma. Bahkan, Bulan nggak tau nasib Bulan akan seperti apa setelah ini.

Dan untuk Bara, maafin aku, maafin aku karna harus ninggalin kamu kaya gini. Tapi aku janji, setelah aku bisa berdamai dengan semua ini, aku akan balik lagi buat berkunjung ke makam kamu, maafin atas janji yang pernah aku langgar, Bar.

Batin dan pikirannya seolah berperang memenangkan argumennya masing-masing. Perlahan, buliran bening itu luruh membasahi kedua pipi Bulan, Ia memejamkan kedua matanya seraya merasakan sesak di dalam dadanya bahkan tenggorokannya semakin tercekat.

Ia menunduk, melihat ponselnya yang sengaja Ia matikan agar tak ada satu orang pun yang akan mencegahnya untuk pergi. Namun, tiba-tiba Ia teringat perkataan Billar jika Kaivan tengah menemui Aisyah tadi malam.

Gue nggak tau apa yang mau hati gue coba bilang, tapi ... hati gue bener-bener sakit saat tau Lo lebih milih perempuan lain dari pada gue, Van. Sekarang gue sadar, cinta Lo ke Aisyah emang bener-bener besar, dan gue nggak sepantasnya menghalangi cinta Lo ke dia. Mungkin, ini memang yang terbaik, dengan gue pergi jauh, Lo sama Aisyah pasti bisa bersatu. Batinnya.

Bulan Untuk Kaivan [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang