• Bagian tiga puluh sembilan

682 54 4
                                    

Dan benar,
semuanya baik-baik saja. Walau, luka itu masih belum sepenuhnya kering, setidaknya luka tersebut sudah menemukan obat yang cocok dan akan segera sembuh.

- Bulan untuk Kaivan -

---

Jakarta

Senyum bahagia itu masih belum luntur dari wajah Alex, akhirnya setelah beberapa minggu di Swiss, kini Ia dan keluarganya bisa kembali ke Jakarta. Sebenarnya bukan itu yang menjadi sumber utama kebahagiaan Alex. Melainkan, ketakutannya akan penceraian putrinya tidak terjadi. Ia tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah karena telah meluluhkan hati putrinya.

"Ayo, Mas. Supir kita katanya sudah menjemput di depan sana," ujar Andhara. Mereka bertiga pun lantas melangkahkan kaki keluar dari Bandara.

Entah aku harus bahagia atau tidak tapi, rasanya sangat aneh. Aku bahkan tidak tau apa yang hatiku inginkan. Satu sisi aku masih begitu mencintai Kaivan dan berharap semuanya akan kembali baik-baik aja tapi, sisi lain aku masih merasakan sakit itu, aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan sikap Kaivan selama ini. Batin Bulan yang sedari tadi hanya bungkam, tak mengatakan sepatah kata apapun.

"Bulan, Mama harap kamu nggak terpaksa melakukan ini," tutur Andhara dengan nada pelan ketika mereka telah berada di dalam mobil.

"Semoga aja enggak, Ma."

Ya Allah, jika memang ini adalah jalan yang terbaik untuk hamba ataupun Kaivan, tolong mudahkanlah semuanya. Namun, jika memang pilihan terbaik untuk kami adalah berpisah, maka hambatlah perjalanan ini agar hamba tidak akan bisa bertemu dengan Kaivan. Doa Bulan dalam hatinya.

Di tempat lain, Kaivan kini sudah berada di rumah mertuanya, Andhara dan Alex. Saking bahagianya, Kaivan sampai lupa memberitahu kabar ini pada Anantha serta Rehan, entah apa yang akan dikatakan oleh orang tuanya jika dirinya tak memberitahu ini semuanya.

"Lama banget, Pak Udin bisa nggak sih bawa mobilnya!" Ya, sedari tadi Kaivan tak henti-hentinya menggerutu kesal entah pada siapa.

Rasanya waktu berjalan dengan sangat lama hari ini, Ia sudah menunggu Bulan sedari pagi tadi, bahkan Ia rela tidak ke kantor hanya untuk menyambut kedatangan Bulan. Bahkan, Kaivan seolah melupakan kekecewaannya pada perempuan itu dalam sekejap setelah Ia mendapat kabar waktu lalu dari sang ayah mertua jika Bulan memutuskan untuk kembali padanya.

"Aden, kalau Aden laper Bibi bisa ambilkan makan, dari pagi tadi Aden belum makan," ujar bi Lastri.

"Saya nggak laper, Bi. Saya nggak butuh makan, karna saya cuma butuh Bulan saat ini," tolak Kaivan yang dibalas gelengan kepala bertanda heran dari bi Lastri.

Jika saja ada Billar di sana, mungkin Kaivan akan diolok sebagai raja bucin se-Jakarta. Ya ... sayangnya hubungan keduanya sudah memburuk setelah kejadian di Swiss.

"Assalamu'alaikum!" salam seseorang yang telah berdiri di ambang pintu yang memang sengaja tidak Kaivan tutup.

"Glenca?" Glenca berjalan masuk dengan wajah angkuhnya, Ia seolah menatap tidak suka ke arah Kaivan.

"Lo ngapain ada di sini?" tanya Kaivan.

"Lo pikir gue nggak tau kalau hari ini Bulan sampai di Jakarta? Gue harap lo nggak lupa kalau gue ini sahabatnya Bulan!" jawab Glenca.

"Biasa aja lo, nggak usah sinis gitu sama gue!"

Glenca terkekeh, lebih tepatnya tertawa dengan nada mengejek.
"Gue punya alasan kuat buat bersikap kaya gini sama lo, Van. Gue sih nganggepnya Bulan itu bodoh, mau-maunya dia maafin cowok brengsek kaya lo!" lontar Glenca yang terdengar sarkas.

"Jaga ya mulut lo! Bagaimanapun juga, gue ini suami sahabat lo, lo juga harus hargain gue dan hargain keputusan Bulan!"

"Gue sangat menghargai Bulan, tapi gue sama sekali nggak bisa menghargai cowok brengsek kaya lo, Van! Lebih baik lo diem aja nggak usah mancing mulut gue buat ngomong lebih kasar lagi ke lo, ngeliat muka lo aja gue udah muak! Kalau nggak karna Bulan, gue nggak sudi ada di sini sama lo!" tegas Glenca yang kemudian memilih duduk di ruang tamu, sedangkan Kaivan memilih untuk berada di teras saja dari pada harus melihat wajah angkuh Glenca.

Beberapa menit kemudian ....

Saat ini, Bulan, Andhara, dan Alex, telah tiba di kediamannya. Jantung Bulan berdebar dengan kencang, seolah tidak siap dengan pertemuannya bersama Kaivan. Bulan seketika terlonjak kaget sesaat Andhara tiba-tiba menggenggam tangan kanannya seraya melemparkan senyum hangat.

"Ayo kita masuk, sayang. Pasti Kaivan sudah ada di sana," ucap Andhara yang tak dibalas respon apapun dari Bulan.

"Buka, Pak!" suruh Alex pada supir pribadinya tersebut.

Supir yang dikenal dengan nama Udin tersebut lantas membuka pintu gerbang bewarna hitam mengkilap itu.

Krekk ....

Dan untuk pertama kalinya, yang Bulan lihat setelah gerbang itu dibuka adalah ... Kaivan, suaminya.

Jantungnya yang tadi terpompa dengan cepat, seolah melambat. Kedua lututnya lemas dalam seketika, kedua matanya memanas dan terlihat berkaca-kaca sesaat bola matanya bertemu langsung dengan bola mata hitam Kaivan.

"Bulan?" Suara serak itu entah mengapa terdengar begitu dekat di telinganya, seolah tersadar. Ia baru menyadari jika laki-laki itu telah berada tepat di hadapannya, dengan jarak yang begitu dekat.

Grep!

Kaivan berhambur memeluknya dengan begitu erat, seolah laki-laki itu tak mau kehilangan dia lagi untuk yang ke dua kalinya. Bulan masih tetap diam dengan jantung yang kembali terpompa cepat.

"Aku seneng kamu akhirnya kembali sama aku, sayang."

Deg

Kalimat itu seolah seperti tegangan listrik bagi Bulan, ditambah Ia merasakan punggung Kaivan yang mulai bergetar menandakan jika laki-laki itu tengah menangis.

"Jangan lakukan ini lagi, Bulan. Jangan pernah! Jangan berniat buat pergi sedetik pun dari aku lagi, aku nggak akan bisa!"

Akhirnya, air mata yang sedari tadi Bulan tahan, kini luruh dalam hitungan detik. Dan entah dorongan dari mana, kedua tangan Bulan perlahan terangkat untuk membalas pelukan Kaivan dengan sama eratnya. Kaivan yang merasakan pelukannya dibalas begitu hangat oleh Bulan, semakin tak bisa membendung tangisnya lagi, Ia semakin mengeratkan pelukannya pada perempuan itu.

Sungguh demi apapun, rasa ini begitu sesak, menyiksa rongga dada yang membuatnya tercekat. Rasa rindu yang membuncah, akhirnya kini bisa menemui titik temu yang sedari dulu tertahan di dalam kalbu meronta-ronta, ingin bertemu.

Andhara dan Alex beserta Glenca hanya bisa menatap haru keduanya, Kaivan dan Bulan masih sama-sama berpelukan seolah mereka berada di momen romantis yang diiringi oleh melodi yang mengalun merdu.

"Terima kasih, sayang. Terima kasih karna kamu masih mau memberikan kesempatan untuk laki-laki brengsek ini," bisik Kaivan yang lagi-lagi tak dibalas kata apapun oleh Bulan.

Namun, mendengar itu, Bulan semakin menangis. Entahlah, Ia tidak tahu harus mengatakan apa, rasanya dadanya begitu sesak, entah karena rindu atau rasa kecewa yang akhirnya harus Ia kubur dalam-dalam dengan harapan, bisa menghilang dengan sendirinya.

---

Mana nih tim Kaivan, akhirnya bisa senyum lagi gak nih setelah beberapa part bikin tegang? wkwk

Bulan Untuk Kaivan [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang