Bertubi

61 10 0
                                    

Pagi itu decit burung begitu ceria menyambut awal hari. Orang-orang sibuk menyebrang jalan ketika lampu berwarna merah. Senyum berhias semangat masih terlukis di bibirnya. Dia merasa hidupnya baru saja dimulai. Hatinya terasa menyala. Tidak seperti ketika dia berada di dunia gelap gulita yang membuat hatinya selalu redup di setiap hari. Penuh rasa takut, cemas, dan khawatir yang dipaksa bersembunyi di balik keberanian pura-pura.

Sepertinya hari ini dia akan membantu ibu mengurus resto seharian. Biasanya pelanggan begitu ramai di hari libur. Resto akan penuh.

"Syif!" Seseorang mengejarnya.

"Hei! Berapa kali aku bilang, namaku Eliza." Ketus gadis berbandana itu.

"Sama saja. Syif itu masih bagian dari namamu, meski letaknya di belakang."

Eliza berlalu tanpa peduli. Dia meninggalkan orang itu tanpa menoleh ke arahnya sedikitpun.

"Kemarin malam aku mengigau apa? Aku sudah tanya ini berkali-kali ya! Cepat jawab atau..." Dia menarik tangan Eliza dan langsung mendekatkan wajahnya ke arah Eliza.

Eliza menatap bibir orang itu yang hendak menciumnya. Eliza segera menepisnya dengan sebuah tamparan. Berandal itu sesekali harus diberi pelajaran biar tidak semakin kurang ajar.

"Ibu jangan tinggalkan Syafiq. Ibu bangun." Eliza menirukan suara dan ekspresi orang itu ketika mengigau.

Dia terdiam sejenak dan membiarkan Eliza pergi. Eliza berharap pertemuan mereka saat itu adalah yang terakhir tapi ternyata tidak. Malam harinya dia menunggu Eliza di balik dinding resto. Dia melihat Eliza meletakkan kunci di bawah pot dekat pintu.

"Lumayan malam ini tidak tidur di jalan."

Keesokan harinya orang itu terbangun di pagi buta. Dia cepat-cepat keluar agar si pemilik resto tidak melihatnya. Sejak hari itu dia selalu datang ke resto setelah Eliza dan ibunya pulang. Sampai akhirnya...

"Aaaaa tikus tikus tikus," jerit Eliza ketika seekor tikus melewati kakinya.

Eliza langsung memeluk seseorang yang dia pikir adalah ibunya. Matanya terpejam karena ketakutan. Hari itu Eliza datang ke resto sebelum matahari terbit. Resto masih dalam keadaan gelap.

"Nuguseyo?" Suara ibu seketika menyadarkan Eliza.

Eliza membuka mata dan mendapati seorang pria yang sedang tersenyum kepadanya.

"Syaf?!" Dia menjauhkan diri dari pria itu.

***

Bunga kamboja kuning terus berguguran seolah menyambut kedatangannya. Eliza masih menangis seraya memeluk nisan sang ayah. Seseorang melihatnya dari balik jendela mobil.

Berkali-kali Eliza menghubungi Ariel dan ayahnya padahal nomornya tidak aktif. Dia seperti orang bodoh yang melakukan hal konyol. Dia tidak mungkin menceritakan hal ini kepada ibu.

Eliza melangkah pergi setelah membaca Al Fatihah untuk ayah. Tatapan Eliza kosong dan tidak memperhatikan jalan sampai akhirnya dia menabrak seorang ibu-ibu.

"Aduh!"

"Maaf," Eliza melanjutkan langkahnya.

"Eh tunggu! Kamu ini pencopet kan?! Kembalikan dompet saya yang kamu curi waktu itu! Bisa-bisanya pakai jilbab untuk menutupi kejahatan! Ayo ikut saya! Kamu bisa kembalikan dompet saya di kantor polisi!" Ibu itu menarik dan menyeret tubuh Eliza ke mobilnya.

Seseorang di dalam mobil terperanjat melihat Eliza diperlakukan seperti itu. Dia langsung mengikuti mobil yang membawa Eliza dengan laju cepat. Dia tidak bisa membiarkan Eliza menanggung masalahnya sendirian. Apalagi dengan kondisi Eliza yang sangat kacau karena kehilangan jejak suaminya.

Beberapa saat kemudian mereka tiba di kantor polisi. Sesuatu yang berat harus Eliza terima sekali lagi. Eliza hanya diam menyaksikan dirinya yang benar-benar dipolisikan.

"Ada seseorang yang ingin bertemu kamu," ucap seorang sipir kepada Eliza.

Eliza keluar sel dan berjalan menghampiri orang yang ingin bertemu dengannya meskipun sebenarnya dia sendiri bingung orang itu siapa. Apakah dia Ariel? Atau ayah? Atau jangan-jangan para korbannya yang ingin menambah tuntutan?

"Syaf? Dari mana kamu tahu aku di sini?" Eliza duduk menghadap orang itu.

Belum sempat dia menjawab, Eliza malah mual-mual. Dia segera berpindah posisi duduk di sebelah Eliza. Sayangnya Eliza sudah tidak bisa menahan mualnya lagi. Akhirnya Eliza muntah tepat di bajunya.

"Ma.. maaf aku tidak sengaja..." suara Eliza terdengar sangat lemah dan semakin pelan.

Eliza jatuh pingsan di bahunya. Dia segera meminta tolong agar Eliza langsung dibawa ke klinik untuk diperiksa oleh petugas medis.

"Kamu sedang hamil, apa suamimu tahu kamu ada di sini?" Tanya petugas setelah Eliza siuman.

Kabar itu terdengar olehnya yang menunggu di depan pintu. Dia izin masuk ke ruangan dan memandang Eliza dengan tatapan iba.

"Maaf Bu, saya ingin bicara berdua. Sebentar saja," orang itu memohon dan petugas medis pun permisi keluar.

"Kamu jangan lihat aku seperti itu! Aku tidak apa-apa," Eliza tertawa seraya menangis.

"Bahkan Ibu pun tidak aku beri tahu. Aku ingin Ariel jadi yang pertama mengetahui kabar ini sebagai hadiah ulang tahunnya hari ini," Eliza benar-benar menangis.

Dia mengusap pelan bahu Eliza dan meminta maaf telah mendengar kabar itu.

"Insya Allah aku siap membantumu kapanpun kamu mau."

Bersambung...

[REVISI] ARIELIZA (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang