Lain Hati

311 36 3
                                    

Intan sudah berada di dalam pesawat bersama karyawan lainnya. Jarak tempat duduk mereka berdekatan. Pandangan Intan menembus jendela. Sorot matanya memandangi matahari yang bersembunyi di balik awan. Lamunannya penuh dengan bayang-bayang Ariel kala itu. Sosok preman tampan berwajah Arab. Sedang apa dia sekarang?

"Hei, Tan!" Seseorang mengejutkannya.

"Ariel!"

Intan menoleh sambil tersenyum saat menyambut orang itu, namun ternyata bukan orang itu yang dia harapkan. Ya, orang itu bukan Ariel, melainkan Pak Ariel.

Pak Ariel tersenyum senang. Dia senang kalau Intan sudah tak canggung lagi dengannya. Setelah meletakkan tas ke kabin, Pak Ariel langsung duduk di sebelah Intan.

"Maaf, Pak." Ucap Intan seraya menyematkan rambutnya di belakang telinga.

Pak Ariel menyembunyikan keluhnya setelah mendengar Intan memanggilnya dengan sebutan Pak lagi.

"Pemandangannya terlalu indah untuk kamu lamunkan. Nikmati, Tan." Ucap Pak Ariel.

Intan hanya tersenyum menanggapi. Dia beralih kepada ponselnya. Melihat kembali foto-foto diri bersama Ariel waktu itu. Ketika basah kuyup terguyur hujan, ketika terhimpit di dalam busway, dan ketika lainnya yang berlalu bersama Ariel.

Keesokan harinya..

Bali pagi itu terlihat indah. Cahaya matahari tak begitu terik. Sementara angin bertiup cukup kencang. Intan lupa mengikat rambutnya agar tidak berantakan tertiup angin.

Restoran tempat mereka bertemu client dekat dengan pantai. Intan memandangi pantai itu dari kejauhan. Andai saja Ariel di sini. Ternyata tak enak rasanya seperti ini. Tidak tahu kabar Ariel beberapa hari membuatnya tak tenang. Mungkin karena dia sudah terbiasa mendapat kabar dari Ariel.

"Tolong dokumennya, Tan." Pinta Pak Ariel.

Tak ada balasan dari Intan. Sontak mata mereka langsung mengarah kepada Intan yang sedang melamun ke arah pantai. Ina yang duduk di sebelah Intan langsung mengusap punggungnya. Seketika Intan pun tersadar.

"Iya Riel? Eh.. iya Pak?" Intan gugup.

"Dokumennya?" Ulang Pak Ariel seraya mengarahkan tangannya ke Intan.

Intan menyerahkan dokumen itu. Tak lama dia izin ke kamar mandi. Di sana Intan menangis. Dia merasa hilang fokus. Ariel terlalu memenuhi pikirannya saat itu. Setelah mencuci muka, Intan pun kembali, namun ternyata client itu sudah pergi.

"Tan, saya perlu bicara sama kamu." Pak Ariel berlalu.

Intan mengikuti langkah Pak Ariel, sampai akhirnya langkah itu berhenti di tepi pantai. Kaki mereka tergenang ombak yang yang datang dan pergi. Angin di sini meniup sangat kencang. Suara teriakan anak kecil yang berlarian ikut serta meramaikan suasana saat itu. Intan sudah siap jika Pak Ariel akan marah besar padanya. Pak Ariel masih membelakanginya dan belum bicara sepatah katapun.

"Sekali lagi maaf atas kesalahan saya tadi, Pak." Intan memulai.

Pak Ariel mulai berbalik arah, "sebenarnya ada apa, Tan? Kamu lagi sakit? Akhir-akhir ini saya lihat kamu sering melamun dan tidak fokus. Kenapa?" Pak Ariel memegang kedua bahu Intan.

"Saya janji, saya tidak akan ulangi kesalahan itu lagi, Pak. Kedepannya saya akan fokus seperti semula, bahkan lebih." Intan tersenyum.

"Kamu belum menjawab pertanyaan saya," Pak Ariel melepaskan tangannya dari bahu Intan.

"Mungkin seharusnya saya berterus terang kalau saya punya perasaan terhadap kamu, Tan." Ungkap Pak Ariel.

Seketika Intan terkejut mendengarnya. Dia memalingkan pandangannya dari mata Pak Ariel yang sedang menatap ke arahnya. Melihat sikap Intan itu, Pak Ariel pun mengalihkan pandangannya. Dia langsung memandangi kapal-kapal kecil yang sedang berlayar di ujung laut. Entah kapan akan berlabuh, seperti perasaannya terhadap Intan.

"Kamu udah punya kekasih, ya?" Pak Ariel tersenyum tanpa melihat Intan.

Intan bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Sementara hubungannya dengan Ariel pun belum menemukan titik terang. Hanya mengalir tanpa terikat.

Intan menggeleng, "saya hanya sedang mencintai pria lain, Pak."

Bersambung...

[REVISI] ARIELIZA (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang