Beranjak

64 10 0
                                    

"Bajumu bagaimana?" Tanya Eliza pada pria di sebelahnya.

"Sepertinya aku harus buru-buru pergi untuk beli baju ganti. Sebentar lagi Magrib dan aku belum salat Asar," pria itu melirik arlojinya.

"Mau pakai baju Ariel? Khawatir tidak keburu Asar," tawar Eliza dengan satu kebingungan di benak.

"Boleh."

"Ah iya koperku," Eliza teringat akan kopernya yang tertinggal di makam saat dia dibawa ke kantor polisi tadi.

"Kopermu kenapa?"

"Di makam. Eh tapi aku membawanya satu di tas." Eliza sengaja menyimpannya satu sebagai penawar rindu, meskipun sebenarnya percuma.

Beberapa saat kemudian pria itu kembali menemui Eliza setelah selesai melaksanakan salat Asar. Eliza memandanginya yang baru muncul dari balik pintu.

"Maaf ya, Kak Ariel.. aku mengizinkan orang lain memakai bajumu," gumam Eliza dalam hati.

Beberapa jam kemudian...

Suara burung hantu terus berkicau menemani langkah Syaf. Dia menyalakan senter ponsel untuk menerangi jalan. Sejauh mata memandang tidak terlihat satu orang pun di sana selain dirinya. Baru kali ini dia menginjakkan kaki di pemakaman.

"Selain menemui Ariel, aku berniat untuk mengembalikan dompet-dompet mereka yang masih lengkap dengan isinya, juga sejumlah uang yang pernah aku curi. Aku sengaja menambahkan jumlahnya karena itu terjadi sudah beberapa tahun yang lalu, tapi Ibu itu tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan, Syaf," jelas Eliza padanya sebelum ia pamit.

Hawa dingin mulai menyelimuti tubuh. Suara jangkrik semakin terdengar nyaring di telinga. Dia belum juga menemukan koper Eliza. Tiba-tiba ada tangan yang menyentuh bahunya. Sontak dia menoleh kaget.

"Mas mau ke makam siapa? Saya penjaga makam di sini, mari saya antar," seorang bapak tua tersenyum padanya.

Spontan dia melirik ke arah kaki pak tua itu. Ternyata masih menapak di atas tanah. Seketika dia bernapas lega.

"Alhamdulillah ada Bapak di sini. Tadi sore, koper teman saya tertinggal di pemakaman ini, apa Bapak lihat?"

"Oh koper itu milik temanmu. Kopernya ada di pos. Ayo kita ke sana!"

***

Keesokan harinya Syaf kembali membesuk Eliza dengan membawakan rantang yang berisi bubur kacang ijo, salad sayur, dan beberapa buah yang sudah dipotong dadu. Syaf memasak dan menyiapkannya sendiri untuk Eliza setelah mencari menu rekomendasi untuk ibu hamil di internet.

"Duh jadi enak," Eliza tertawa.

"Harus dihabiskan!" Syaf tersenyum.

"Terima kasih, ya. Kemarin itu nenekmu?" Eliza mulai memakannya satu persatu.

"Dia hanya penumpang."

"Oh... kalau supirnya kamu, aku yakin banyak orang yang tertipu," canda Eliza.

Bagaimana tidak? Pria itu memang sangat karismatik sejak dulu. Hanya penampilannya saja yang berubah karena sekarang ia terlihat lebih terawat dan kasual. Dia memiliki tubuh yang tinggi dan gagah seperti pangeran.

"Sudah cepat habiskan, waktunya kan terbatas," seru Syaf.

Eliza hanya berangguk ringan dengan perasaan yang masih sulit percaya. Pria itu dulu datang tanpa permisi, lalu pergi tanpa pamit. Hilang begitu saja tanpa kabar dan kemarin tiba-tiba muncul di hadapannya.

Pria yang dikenalnya dulu saat di Ansan itu tadinya seorang ateis dan pemabuk. Saat usianya 17 tahun dia harus tertangkap polisi karena mengonsumsi narkoba. Orang tuanya yang kaya raya meninggalkannya begitu saja karena malu mempunyai seorang anak sepertinya. Bahkan namanya sampai dihapus dari kartu keluarga.

Selepas bebas dari hukuman, dia memutuskan untuk ikut temannya merantau ke Ansan tepatnya saat usia dia 18 tahun. Di sana dia bertemu dengan Eliza yang lebih dikenalnya dengan panggilan Syif. Dan selama dua tahun jadi imigran gelap, akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

***

Hari-hari berlalu dengan usaha tak berujung. Tanpa sepengetahuan Eliza, Syaf masih mencoba mendatangi satu persatu tempat tinggal para korban Eliza untuk mengembalikan milik mereka yang pernah Eliza curi. Ada 52 alamat yang harus dia kunjungi demi kebebasan Eliza. Dia juga berusaha meminta kepada mereka agar bersedia menjadi saksi bahwa semua masalah sudah diselesaikan secara kekeluargaan.

"Saya harap Ibu bisa bersedia membantunya, karena saat ini dia sedang mengandung. Usia kandungannya masih muda, jadi sangat rentan jika dia harus tinggal di dalam penjara," ungkap Syaf seraya memohon kepada salah satu korban.

Berkali-kali Syaf kesasar dan salah alamat, bahkan beberapa ada yang sudah pindah. Berkali-kali juga permintaannya ditolak mentah-mentah tapi dia tidak menyerah dan terus meyakinkan mereka, sampai akhirnya mereka luluh.

Waktu bergulir dimana setiap detiknya Eliza merasa waktu berjalan sangat lambat. Empat bulan berlalu terasa cukup berat. Baby bump di perutnya pun sudah semakin terlihat. Namun pada akhirnya kesabaran Eliza membuahkan hasil. Tepat di hari ini Eliza dinyatakan bebas. Seseorang tengah menunggunya untuk menyambut kebebasannya.

"Alhamdulillah," orang itu memandang Eliza dengan tatapan berbinar.

"Kok kamu ada di sini, Syaf? Kamu tahu aku bebas?" Tanya Eliza kebingungan.

Tanpa sadar air matanya terjatuh dan cepat-cepat ia hapus agar tidak terlihat oleh Eliza, "kita bicarakan di mobil ya."

Syaf membukakan pintu mobilnya untuk Eliza. Eliza masuk ke dalam mobil dan tak berselang lama mereka berlalu. Syaf menceritakan semuanya kepada Eliza. Berawal dari dia yang malam-malam mengambil koper di makam, sampai mengajak para korban Eliza untuk berdamai. Eliza tercengang mendengarnya.

"Masya Allah. Terima kasih banyak Syaf untuk semuanya. Selama aku di penjara pun kamu tidak pernah absen membawakan makanan untuk aku dan dia," Eliza menatap Syaf sekilas lalu mengusap perutnya seraya tersenyum.

"Terima kasih juga untuk kebaikanmu selama dua tahun di Ansan, maaf aku belum sempat bilang ini sebelumnya," Syaf melirik Eliza.

Pernahkah kamu mencariku waktu itu seperti kamu mencari Ariel saat ini, Syif?

Pertanyaan itu seketika terbit dalam pikiran Syaf. Dia segera menepisnya dan kembali fokus menyetir.

"Um, Syaf... berarti kamu membuka koperku?" Tanya Eliza ragu.

"Tenang, sewaktu aku buka, aku langsung menemukan dompet-dompet itu, jadi langsung aku tutup lagi," Syaf nyengir.

Suasana kembali hening. Syaf memutar sebuah lagu di radio mobil untuk menemani perjalanan mereka.

"Apa kabar?" Tanya Syaf tiba-tiba.

Rasanya Syaf baru berani menanyakan kabar kepada Eliza karena sebelum ini waktunya seolah tidak tepat.

Eliza tertawa, "aneh, kamu kan sudah tahu kabarku. Seperti yang kamu lihat, aku baik.. meskipun tidak sepenuhnya baik. Setidaknya aku sudah bebas sekarang, alhamdulillah."

Eliza bersyukur karena Allah mempertemukan dia kembali dengan Syaf. Jika tidak, mungkin saja dia masih mendekam di penjara sampai melahirkan nanti.

"Ibu apa kabar?" Tanya Syaf, lagi.

"Alhamdulillah Ibu baik-baik saja. Kamu sendiri bagaimana?"

Entah kenapa perasaan Syaf saat itu seolah memekar dengan senyuman. Mendapati Eliza yang menanyakan kabarnya seakan memunculkan rasa senang di sana.

Bersambung...

[REVISI] ARIELIZA (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang