Tanpa Kabar

298 37 0
                                    

Malam itu malam terakhir Intan di Bali. Pak Ariel mengadakan pesta kecil-kecilan untuk memeriahkan hasil kerja mereka selama seminggu di Bali. Seminggu berlalu tanpa kabar dari Ariel. Intan masih menyembunyikan rasa itu di balik senyum. Seolah pura-pura bahagia saat melihat timnya tertawa. Sementara hatinya kosong bersama Ariel yang menghilang entah kemana.

Setelah keramaian mulai menyepi, Intan memilih menepi di tepi pantai. Melihat pemandangan laut di bawah langit malam. Ada banyak bintang juga yang menemaninya. Intan kembali melihat ponselnya entah sudah berapa kali. Tapi tak kunjung muncul yang dinanti.

"Melamun lagi?" Pak Ariel duduk di sebelah Intan.

Intan tersenyum simpul, "Pak Ariel pernah gak, ada di keadaan di mana melamun itu jadi pelampiasan rasa khawatir diri terhadap yang terkasih?"

"Nggak, karena saya lebih memilih untuk menghampirinya langsung daripada melamunkannya." Pak Ariel menatap Intan.

Intan menoleh, memandang Pak Ariel yang sedang tersenyum padanya, persis di sebelahnya. Angin malam itu semakin dingin. Sekarang sudah tidak ada yang disembunyikan, Intan sudah tahu akan perasaannya.

Dua hari kemudian..

Ariel menghampiri Intan ke kantornya. Saat yang tepat karena sedang istirahat. Seperti biasa, Ariel datang tanpa memberitahu terlebih dahulu. Ariel menemukan Intan di kedai dekat kantor saat ia hendak membeli minuman di sana.

"Dorrr!!" Ariel menepuk punggung Intan yang sedang membayar di kasir.

Intan terkejut dengan wajah kesal. Intan langsung berlalu keluar. Ariel mengejarnya. Dia menggenggam tangan Intan. Intan melihat ada bekas luka yang menggores pipi Ariel.

"Kamu kemana aja seminggu lebih gak ada kabar? Kamu itu lagi sakit, Riel. Aku khawatir sama kamu. Tapi kayanya kamu gak pernah peduli sama perasaan aku."

Sebenarnya Ariel langsung ke rumah Intan sepulangnya dari rumah sakit. Tapi kata sang mama, Intan sedang ke Bali sejak dua hari yang lalu. Ponsel Ariel mati sejak ia di rumah sakit.

"Gue cuma gak mau ganggu kerja lu, Tan. Gue ini bukan anak kecil yg harus dikhawatirkan setiap saat." Ariel memerah, dia menatap Intan.

"Kalau gitu berhenti bikin aku khawatir, berhenti bertindak gegabah yang bisa membahayakan diri kamu, Riel. Bisa?" Intan mendongakkan wajahnya.

Ariel terdiam tanpa bahasa. Dia mengalihkan pandangannya dari mata Intan yang marah.

"Kita ini apa sih, Riel? Kok lama-lama aku jenuh ya dengan hubungan ini, yang gak jelas kemana arahnya? Oke, aku senang karena bisa jadi semangat kamu. Tapi kalau dari diri kamu sendiri aja gak ada usaha untuk berubah, aku bisa apa?" Intan pergi meninggalkan Ariel.

"Aku janji Tan, aku janji suatu saat aku akan jemput kamu dengan kebaikan. Mungkin untuk sekarang kita lebih baik seperti ini, berjalan masing-masing." Ucap Ariel pada dirinya sendiri sambil memandang Intan yang semakin jauh berlalu sebelum akhirnya Ariel memilih untuk pergi, juga.

Saat itu Intan tak bisa menahan perasaannya. Dia menangis sejadi-jadinya dalam diam. Tangannya terus mengusap setiap kali ada air mata yang terjatuh. Dia mempercepat langkahnya agar cepat kembali ke kantor. Ada orang yang mengikuti langkahnya dari belakang. Orang itu melihat pertengkaran Intan dengan Ariel, hanya saja dia tak sempat melihat wajah Ariel, sosok pria yang dicintai oleh wanita yang dicintainya itu.

Bersambung...

[REVISI] ARIELIZA (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang