Mari kilas balik ke tahun-tahun sebelumnya, ke tahun dimana Jeno dan Karina masih menjadi orang asing untuk satu sama lain. Disini, akan diceritakan bagaimana awal perjumpaan dua insan yang skenarionya seakan telah diatur dengan sedemikian rupa. Tuhan, semesta, takdir, dan kondisi seakan mengizinkan setiap pertemuan mereka.Kisah yang klasik, namun berjuta makna. Pertemuan yang tidak disengaja karena insiden kecil, berakhir pada sebuah bahtera rumah tangga yang bahagia.
•••
Di siang hari nan terik yang menyatu dengan hiruk pikuk ibukota, seorang gadis dengan surai hitam panjangnya yang tergerai bebas───Karina Yasmine namanya, terburu-buru membawa langkahnya menyusuri trotoar agar lekas sampai menuju halte.
"Jangan telat..... jangan telat..... nggak boleh telat pokoknya!!" gumamnya gelisah.
Sepertinya hari ini adalah hari yang kurang beruntung untuknya, gadis cantik itu tidak sengaja ketiduran dan nyaris lupa dengan jadwal kelas siangnya. Beruntung, alarm ponselnya berbunyi nyaring dan langsung membangunkannya. Maka dari itu, persiapan dirinya yang meliputi memilih setelan dan berdandan terpaksa dilakukannya secara kilat.
Flat shoes hitam yang melingkupi telapak kakinya itu semakin menambah laju langkahnya, bibirnya terus menggumamkan doa──memohon jangan sampai dirinya ketinggalan bus.
ckitt.......... brak!
Suara decitan pedal rem yang diiringi suara benda jatuh dengan keras menginterupsi Karina, gadis itu refleks menghentikan langkahnya karena terkejut. Ia menoleh ke belakang, dan......
"Astagfirullah, ada yang jatoh!!!" pekiknya.
Seorang pemuda dengan helm fullface yang menutup wajahnya terjatuh dari motor sport-nya sendiri, membuatnya mendapat luka dan terkulai lemas di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang Karina langsung menghampiri pemuda tersebut, begitu juga dengan orang-orang yang berada di area tersebut.
Sebagai orang pertama yang menghampiri si pemuda, Karina berinisiatif melepaskan helm fullface yang dikenakan oleh pemuda tersebut. Helm fullface tidaklah bagus ketika dikenakan dalam keadaan yang tidak memungkinkan, yang ada malah sesak nafas. Itulah pemikiran seorang Karina.
Ketika gadis itu melepaskan helm si pemuda, pemandangan pertama yang ia lihat adalah......... tentu saja wajah si pemuda.
"Mas-nya nggak papa? ada yang sakit— IH TANGANNYA BERDARAH!!!!"
"S-saya nggak papa, terimakasih."
"Nggak papa apanya!? tangannya luka gitu, mukanya juga pucet banget. Mas-nya sakit?"
"Mbak, Mas ini temennya kah?" seorang pria tua menanyai Karina. Karina yang mendapat pertanyaan demikian menjadi tergagap dan bingung, "E-eh? ah iya, s-saya temennya, Pak." jawabnya berbohong. Pria tua itu mengangguk, "Baguslah, tadi saya sudah telepon ambulance buat temennya Mbak. Tunggu aja ya ambulance-nya, sebentar lagi pasti dateng." ujarnya.
"P-pak, harusnya nggak perlu manggil—"
"Terimakasih banyak, Pak." Karina memotong ucapan si pemuda. Pria penelpon ambulance itu tersenyum singkat, sebelum akhirnya ia berlalu pergi──diikuti dengan orang-orang lainnya.
Ngomong-ngomong, si pemuda beserta motornya sudah dipindahkan ke tempat yang lebih aman oleh orang-orang sekitar sana. Mereka berbondong-bondong memapah si pemuda dan menyeret motornya, diikuti oleh Karina yang membawakan helm-nya.