menjadi single parent tidaklah mudah

2.4K 199 29
                                    


Jeno terbangun kala terbayang wajah Karina didalam tidurnya. Pria itu lantas mendudukan dirinya, matanya mengerjap berulang kali demi mengumpulkan kesadaran. Wajah cantik istrinya yang tengah tersenyum mengganggu istirahatnya malam ini.

Manik legamnya menyipit demi menilik jam dinding, benda itu menunjukkan pukul 2 pagi. Kemudian maniknya berpindah haluan, menatap sendu kearah space kasur disebelahnya yang kosong melompong. Kini tak ada lagi sosok yang Jeno peluk ketika tidur, tidak ada lagi sosok yang membangunkannya saat subuh, tak ada lagi yang mengurus dan memasakkannya makanan, dan......  tak ada lagi panggilan ‘Mas’ untuknya.

Terhitung 40 hari sudah kepergian Karina. Wanita itu benar-benar pergi, yang tersisa kini hanyalah kenangan dan aroma tubuhnya yang masih membekas diberbagai benda dan penjuru rumah.

Jeno menengadah──menatap langit-langit kamar dengan sorot mata yang redup, kenangannya bersama Karina terputar kembali bagaikan kaset rusak. Tanpa dikehendaki liquid bening mengalir turun dari pelupuk matanya, ingatannya bersama sang istri selalu membayangi hidupnya akhir-akhir ini. Tuhan telah menetapkan takdirnya, yakni membuat wanitanya pergi lebih dulu ke alam yang berbeda, meninggalkannya sendirian dengan bintang kecil mereka.

"Saya rindu kamu, Karina." lirihnya.

Manik legamnya beralih, kini atensinya tertuju pada keranjang bayi yang terletak tak jauh dari kasurnya. Jeno tersenyum tipis, sepertinya panggilan ‘Mas’ dari Karina akan berganti menjadi tangisan dan tawa lucu dari bayi Eric, pikirnya.

Pria yang baru menjadi ayah itu bangkit dari kasurnya, kakinya melangkah──membawanya mendekat pada keranjang bayi Eric. Dilihatnya ke dalam keranjang, bintang kecilnya itu tidur dengan tenang. Perut mungilnya naik turun secara teratur, seiring dengan pernafasannya yang stabil.

Tangan Jeno terulur, diusapnya lembut pipi tembam bayi Eric. Tanpa sadar ia menarik sudut bibirnya, hingga menciptakan senyuman bulan sabit ciri khasnya. "Bintang kecilnya Ayah anteng banget tidurnya....." ucapnya bermonolog. Sungguh disayangkan, senyuman bulan sabitnya tak bertahan lama. Senyum itu berubah menjadi raut wajah sendu, disusul dengan manik legam yang meredup kembali. "Maaf ya, nak. Sampai sekarang Ayah belum bisa memberikan yang terbaik buat kamu. Ayah rapuh, nak. Bunda-mu pergi disaat harusnya kita bahagia bareng-bareng. Nggak, Ayah nggak menyalahkan siapa-siapa. Semuanya sudah takdir Tuhan, mau nggak mau Ayah harus bisa menerimanya.

Makasih ya, bintang kecilnya Ayah. Terimakasih sudah lahir, Ayah nggak tau gimana jadinya kalau kamu juga ikut Bundamu pergi ninggalin Ayah. Athalla Eric Fatahillah, bintang kecil kesayangannya Ayah, kamu adalah satu-satunya alasan untuk Ayah agar tetap bertahan."

Jeno berbicara sendiri──meskipun baginya ia tengah mengajak bayinya berbicara. Bayi Eric nampak tak terganggu dengan perlakuan sang ayah yang memainkan pipi tembamnya, ia tetap tidur dengan tenang, merasa tak ada gangguan apapun.

Ngomong-ngomong, selama 1 bulan terakhir Jeno selalu ke rumah sakit. Tujuannya ke tempat tersebut adalah untuk belajar mengurus bayi dengan benar bersama salah satu dokter spesialis bayi dan anak-anak yang merupakan seniornya di bangku perkuliahan dulu, Dokter Yeri namanya. Dokter Yeri mengajari Jeno serba-serbi yang berhubungan dengan bayi, juga menjelaskan ini dan itu yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan bayi. Beruntung, Jeno adalah orang yang tanggap. Ia cepat dalam menguasai sesuatu, meski pernah beberapa kali melakukan kesalahan tentunya. Ada kalanya Jeno membuat susu terlalu encer untuk bayi Eric, hingga berujung pada bintang kecilnya yang muntah-muntah dan menangis keras.

Mengurus bayi tidaklah mudah, terlebih jika kau adalah single parent dadakan. Rasanya tak beda jauh dari dibawah tekanan.

Awal-awal kepergian Karina, Jeno bertransformasi menjadi mayat hidup. Rahangnya tegasnya berubah tirus, lingkaran hitam menghiasi kantung matanya, otot ditubuhnya hilang──tergantikan dengan postur kurus yang rapuh.

Kepergian Karina berdampak begitu besar untuk Jeno. Pria itu bagai kehilangan semangat dan tujuan hidup. Ia kehilangan sandarannya, sandaran satu-satunya dalam hidupnya. Kehilangan Karina, Jeno tak memiliki siapa-siapa lagi.

Keluarga? kerabat? Jeno tak memilikinya. Masa lalu Jeno adalah ia seorang yatim piatu yang diasuh oleh wanita berhati mulia yang tidak bisa memiliki anak. Ketika Jeno duduk di bangku perkuliahan, ibu asuhnya meninggal dunia karena gagal jantung. Kehidupannya sungguh malang, sebelum bertemu dengan Karina.

Dan sekarang, Karina-nya juga pergi. Mungkin kehidupan kelamnya dimasa lalu akan dirasakannya kembali, pikirnya. Tak sekali-dua kali terbesit pemikirannya untuk menyusul sang istri, sebelum akhirnya ia disadarkan kembali dengan wujud nyata bayi Eric. Bayi Eric, sosok yang menjadi satu-satunya alasannya untuk Jeno bertahan.

Back to plot >>>

Puas memainkan wajah tenang bintang kecilnya yang tidur, kini atensi Jeno jatuh pada sebuah figura besar yang terpajang apik di dinding atas headboard kasurnya. Figura tersebut berisikan potretnya bersama sang istri yang diambil ketika pesta resepsi pernikahan mereka digelar.

Senyuman pahit menghiasi wajah Jeno. Tanpa diberitahu, senyum itu sudah mendeskripsikan banyak makna yang mengatakan bahwa dirinya rapuh.

"Karina...... saya takut. Saya takut, saya sama sekali nggak becus mengurus anak kita. Saya pernah bikin Eric kita nangis karena ngasih susu encer. Menjadi single parent ternyata nggak mudah, saya sering melakukan kesalahan dalam mengurus buah cinta kita. Ditinggal kamu, hidup saya hampa dan hilang arah, Karina. Saya ingin berandai, jikalau kamu masih ada hingga detik ini, pasti sekarang kita sama-sama ngurusin bintang kecil kita. S-saya.... hiks—"

Malam itu, Jeno menangis dan berbicara dengan potret Karina didalam figura. Keluh kesah dan air matanya ia tumpahkan dihadapan potret sang istri. Tangisnya menggema keseluruh penjuru kamar, cukup untuk menyiratkan kerapuhan yang ditanggungnya seorang diri.

 Tangisnya menggema keseluruh penjuru kamar, cukup untuk menyiratkan kerapuhan yang ditanggungnya seorang diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued.......

asterism.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang