Sore nan hangat di ruang tengah kediaman Fatahillah, Jeno yang asyik menonton berita di televisi dikejutkan oleh kehadiran Eric beserta ekspresi wajahnya yang menyiratkan sesuatu."ayah....." suara kecil nan lirih itu menginterupsinya.
Lantas Jeno alihkan atensinya, kini manik legamnya benar-benar terfokus pada bintang kecilnya. "Iya? ada apa, nak?" responnya.
Wajah si kecil nan serupa dengan Jeno itu memasang ekspresi wajah yang sulit diartikan, "adhi pash agi main theman-theman ceyitain buna-na meyeka, teyus meyeka anyain buna-na eyik. eyik nda taw hayus mong apa, kan..... buna jawuh thama kita. eyik hayus mong apha, yah? becok meyeka maw dengeyin ceyita buna dali eyik." rentetan kalimat itu terucap ringan dari belah bibir Eric, tanpa tahu jika itu menjadi sebuah tamparan telak bagi sang ayah.
❝eyik nda taw hayus mong apa❞
Hati Jeno mencelos ketika mendengarnya. Perasaan bersalah melingkupi, meski nyatanya ia tak salah sama sekali. Athalla kecil yang malang, ia kebingungan dengan situasi yang dihadapinya. Maka dengan hati yang masih berkecamuk, ayah tunggal itu mendekap putranya untuk penenang.
"Bintang kecilnya Ayah yang terbaik....." bisiknya ditelinga Eric.
"ayah-na eyik yang telbayik ugha~" tanpa disangka bintang kecil itu membalas bisikan ayahnya.
Jeno terkekeh pelan, kemudian diangkatnya tubuh kecil putranya itu ke pangkuannya. Senang bukan kepalang, Eric bertepuk tangan sembari menyamankan diri dipangkuan sang ayah.
"ayah, eyik hayus mong apa becok?"
Pertanyaan itu lagi, raut hangat Jeno memudar karenanya──tergantikan muram yang kembali menghias. Bibirnya ia tipiskan, kepalanya sibuk berfikir demi menemukan jawaban yang sekiranya tepat. Selagi terus begitu, Eric dengan sabar menunggu jawaban ayahnya.
Sekon demi sekon berlalu, hingga akhirnya suara Jeno memecah hening yang sempat mengambil peran. "Athalla Eric Fatahillah......." panggilnya begitu halus.
"iya, yyah?"
"Buat besok, Eric bisa ceritain Bunda ke teman-teman kayak Ayah cerita tentang Bunda ke Eric. Paham, nak?"
Mendengar ucapan Jeno yang demikian, lantas Eric memiringkan kepalanya lucu, ia masih mencerna setiap kata yang keluar dari bibir sang ayah.
"eyik ceyitain buna ke theman-theman aya ayah ceyitain buna ke eyik?"
"Iya, kayak yang pernah Ayah ceritain ke Eric. Bunda itu cantik, pinter, tutur katanya lembut, penuh kasih sayang, dan yang paling utama...... Bunda sayang banget sama Eric, sejauh apapun dia dari kamu. Eric paham?"
Bibir si kecil menerbitkan senyum manisnya, kepalanya mengangguk-angguk semangat. "eyik paham yyah!!" ucapnya tanpa ragu.
Maka Jeno bubuhi wajah bintang kecilnya dengan banyak kecupan, "Pinter banget anak Ayah......" pujinya tulus.
"hihihi~ eyik pintel, aya buna!!"
"Ahahaha~ iya, Eric pinter kayak Bunda."
Tawa hangat itu mengisi sore yang sama hangatnya di ruang tengah kediaman Fatahillah, sebelum pertanyaan yang terlontar dari Eric membuatnya sirna seketika.
"ayah, buna kenapha jadi pelgi jawuh?" pertanyaan polos itu terucap dengan ekspresi wajah penasaran yang begitu kentara sebagai pelengkap.
Jeno membisu, bibirnya mendadak kelu, suaranya tertahan di kerongkongan, dan kepalanya ia paksa berfikir keras untuk menemukan jawaban yang tepat. Hening mengambil perannya kembali, ayah dan anak itu saling menatap satu sama lain──dengan sudut pandangan berbeda.
"ayah...... kenapha diyam? buna kenapha jadi pelgi jawuh, yah?" interupsi dan pertanyaan yang diulang memaksa Jeno untuk merespon, maka sebaik-baiknya respon adalah menerbitkan senyuman bulan sabit untuk Eric kecilnya.
"buna kenapa jadi pelgi jawuh, ayah?" lagi, pertanyaan itu kembali diulangi oleh Eric.
Dengan senyuman, Jeno berusaha menjawabnya dengan gelengan. "Ayah nggak tau, nak. Tapi yang Ayah tau, sejauh apapun Bunda pergi...... kasih sayangnya terus ada buat kita." tuturnya.
"ayah nda tawu jugak?"
"He'em, Ayah nggak tau..... hehe~"
"Karena nggak mungkin Ayah ngasih tau kamu bahwa Bundamu pergi karena bersikeras agar kamu lahir, Eric. Maaf nak, kamu masih terlalu kecil untuk tau yang sebenarnya."
Eric menekuk bibirnya ke bawah, ia tunjukkan kekecewaan yang begitu kentara. "hng~ buna kenapa ya pelgi jawuh?" ia bergumam kecil. Meskipun kecil, tetap saja Jeno masih bisa mendengarnya. Hatinya terasa ditikam sembilu, ternyata bintang kecilnya juga merasa kosong.
"Kalau Eric sudah besar...... pasti Eric bakal tau jawabannya, nanti kita cari tau sama-sama jawabannya." Jeno berucap tiba-tiba, sekedar untuk menghilangkan raut kecewa di wajah buah hatinya. Mendengar ayahnya yang berucap demikian, raut kecewa Eric segera tergantikan dengan raut cerah seperti sedia kala──rasa antusiasme dan perasaan senang melingkupinya. "kalau eyik becal, nanti eyik bica tawu awaban-na? benelan yyah!?"
"I-iya, beneran......"
"janji keyinci?" Eric sodorkan jari kelingkingnya yang mungil, diajaknya sang ayah untuk berjanji dengan kalimatnya sendiri.
Jeno terkekeh samar dan tersenyum tipis kemudian, "Janji kelinci~"
Janji yang telah terucap, menjadi jawaban untuk Eric di masa depan kelak.
"Maaf untuk segala kebohongan yang kamu terima, nak. Sebab.... Ayah nggak mau kamu sakit ketika tau yang sebenarnya."
To be continued..........