Pagi yang cerah diawali dengan Eric yang rewel dan Jeno yang khawatir."hiks~ ayah..... thakit~"
"thakit, hiks~"
"hiks~ thakit, ayah....."
Jeno mengelus-elus lengan bintang kecilnya, "Sakitnya dimana hm?" tanyanya.
"cini yah, thakit hiks~" Eric menunjuk keningnya.
"Kepalanya sakit? pusing ya?" Jeno tempelkan punggung tangannya pada kening serta perpotongan leher si kecil, dan suhu tinggi yang menyapa kulitnya menjadi jawaban. "Sshhh~ panas banget, jangan-jangan demam nih." monolognya pelan.
"hiks~ huhu~ ayah....... thakit, nash~"
"Sshhh~ sakit ya, nak? panas juga?"
"hu'ung, yah..... hiks~"
"Sini-sini, biar Ayah hilangin sakit sama panasnya." Jeno mengusap kening dan dahi bintang kecilnya menggunakan ibu jari, sesekali ia pijit pelan dan tiup-tiup sebagai pengalih rasa sakit──meski usahanya itu terkesan sia-sia.
"Kita ganti baju ya, terus makan, minum obat, baru istirahat lagi."
"nda maw..... eyik maw buna hikss~"
Jeno menghembuskan nafasnya kasar, ia berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak dan membentak Eric nantinya. Ia rasa, akhir-akhir ini putra kecilnya itu banyak membantahnya. "Karina...... saya capek." keluhnya.
"hikss~ maw buna......"
"Eric, bintang kecilnya Ayah.... Bunda lagi nggak sama kita sayang. Udah ya nangisnya, nanti kepalanya makin sakit lho~ terus, kalau Eric nangis nanti Bunda ikutan nangis. Eric mau Bunda sedih hm?"
Mendengar ucapan sang ayah, Eric lantas menggeleng kuat. "nda maw!! buna nda boyeh cedih~"
"Kalau gitu, Eric nurut ya sama Ayah? kita ganti baju, makan, minum obat, terus istirahat lagi. Oh iya, dahinya juga bakal dikasih stiker penurun demam supaya Eric cepat sembuh. Mau ya?"
"hu'um~ maw ayah....."
Jawaban Eric membuat Jeno tersenyum lega, dikecupnya singkat pipi gembil bintang kecilnya yang terdapat bekas jejak air mata. "Pinter anak Ayah~" pujinya. Maka setelahnya ayah tunggal itu melakukan kegiatannya berupa mengurus si kecil yang terserang demam.
◇ ◇ ◇ ☆ ◇ ◇ ◇
Athalla kecil telah berganti baju, makan, dan juga minum obat. Kini batita itu terlelap──karena efek samping obat, tak ketinggalan stiker penurun demam yang menempel di dahinya.
Jeno tersenyum tipis memandangi bintang kecilnya yang terlelap dengan tenang, onesie koala yang membalut tubuh mungil itu tampak sangat menggemaskan. Beralih dari si kecil, kini manik legam pria Fatahillah itu jatuh pada figura potret cantik sang istri.
"Karina..... semenjak Eric tahu tentang kamu, dia terus-terusan pengen ketemu kamu. Saya harus bagaimana?" lirihnya.
Mentari naik semakin tinggi, sekarang waktu telah menunjukkan pukul 12 siang. Jeno duduk di atas kasurnya dan punggungnya ia sandarkan pada headboard kasur, manik legamnya betah memandangi satu objek sedari tadi. Siapa lagi kalau bukan bintang kecilnya.
"Sehat-sehat ya, nak. Ayah nggak suka liat kamu sakit." ucapnya yang diakhiri senyum samar.
Tanpa disangka sedetik setelah Jeno berucap demikian, Eric mengerjap yang disusul dengan terbukanya manik hazel itu.
"hum~"
"Lho, anak Ayah udah bangun? Eric laper, nak? kepalanya masih sakit nggak?" Jeno bertanya sembari menempelkan punggung tangannya di dahi dan perpotongan leher sang anak, dapat dirasakannya suhu badan Eric mulai normal ketimbang sebelumnya. Ia menghela nafas lega karena kondisi bintang kecilnya yang berangsur membaik.
"ayah~"
"Iya, ada apa nak?"
"eyik maw ain ma dede caca~"
Mendengar ungkapan yang disampaikan bintang kecilnya membuat Jeno kaget dan terheran, "Hee!? tiba-tiba banget nak....."
"aaaa~ maw ain dede caca!!"
"Tapi kan Eric lagi sakit, demam gitu masa mau main? sekarang juga pasti Dede Chaca lagi bobo, nanti ya mainnya."
"ain ma dede caca, yyah~"
"Kamu masih sakit nak, lagi demam lho itu."
Eric mencebikkan bibirnya, kemudian memasang tampang kesal yang jatuhnya malah menggemaskan. Perlahan ia bangkit dari posisi rebahannya dan langsung duduk bersila menghadap sang ayah.
"eyik nda cakit, yah~ ini chuma emam!!"
"Ya, itu..... Eric sakit namanya, kan lagi demam."
"ndaaaa~ eyik emam aja, nda cakit ayahh!!"
"Kalau demam berarti sakit, Eric ganteng anaknya Ayah~"
"no~ eda yah!! cakit, emam. eda kan!!"
"LHO KOK!!?"
Sungguh, Jeno kalah telak berdebat dengan anak semata wayangnya itu. Eric is another level smart baby, batita itu pandai bercakap meski baru berusia 2 tahunan lebih.
Ayah tunggal itu hanya bisa terdiam, kemudian tertawa aneh secara tiba-tiba. Tangan besarnya terulur untuk mengusap lembut kepala Athalla kecilnya itu.
"Hahah~ kalau jual anak sendiri di syopi bakal laku nggak ya?"
note. chapter ini sangat tijel sekali, sekian terima Jenric :)
To be continued..........