Dengan kacamata anti radiasi yang bertengger apik di pangkal hidung, Jeno menatap sebuah grafik yang terpampang di layar macbook-nya dengan serius. Kegiatan berkala yang dilakukannya setiap bulan, yakni memantau perkembangan restaurant beserta cabang-cabangnya.Saking fokusnya pada layar macbook, pria Fatahillah itu tak sadar jika waktu telah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah menjadi kebiasaan, ketika ia fokus pada satu hal, maka hal-hal yang lain bukan lagi prioritasnya.
tok tok tok---clek /pintu dibuka/
Suara ketukan pintu yang disusul dengan terbukanya pintu kamar membuat fokus Jeno teralihkan dalam sekejap. Reaksi refleks atas tubuhnya, ia lantas menoleh dan..... didapatinya sosok bintang kecilnya yang berdiri di daun pintu.
"ayah......?"
"Iya— masyaallah, Eric!?"
Bintang kecilnya Jeno itu berlari kecil mendatangi sang ayah, "ayah...... lum bobo?" tanyanya.
Jeno mengangguk pelan, "Iya, Ayah belum bobo. Eric, kenapa bangun nak?" ia balik bertanya.
Ngomong-ngomong, Eric sudah ditidurkan sebelumnya. Batita itu tidur nyenyak di kamarnya sendiri, setelah dibacakan dongeng yang berakhir dengan membaca doa sebelum tidur. Untuk kamar sendiri...... itu keinginan Eric, kini ayah dan anak itu tidur ditempat yang terpisah. Cukup mengkhawatirkan bagi Jeno, namun anak semata wayangnya itu bersikeras ingin tidur dikamar sendiri. Selalu saja, pada akhirnya Jeno pasti menuruti keinginan bintang kecilnya itu.
Back to plot >>>
"eyik iat monthel path agi bobo, thelemm~" adu si kecil.
"Monster? Eric liat monster dalam bobo?"
"hu'um, thelem yah...."
"Itu namanya mimpi buruk, sayang. Eric ngalamin mimpi buruk, pasti baca doanya nggak sungguh-sungguh, iyakan?"
"mmpi uyuk? eyik mmpi uyuk!? nda! eyik ca doa thungguh-thungguh, yah~"
Jeno mati-matian berusaha menahan tawanya, oh ayolah~ terlampau sering ia menjahili anak semata wayangnya itu. Membuat Eric merengek bahkan parahnya sampai menangis, itu adalah hobinya.
"Beneran sungguh-sungguh? kalau nggak nanti monster-nya bisa dateng lagi lho~"
"enelan!! yik ca doa-na lama, thupaya monthel-na ilang!!!"
"Iya iya.... pinter anak Ayah, semoga dilindungi selalu ya nak."
"miin~"
"Aamiin. Yaudah kalau gitu, anak Ayah tidur lagi ya. Yuk, Ayah anter Eric balik ke kamar."
Eric menggeleng kuat, "nda!! eyik..... maw bobo thama ayah, boyeh?" kentara sekali, nada bicaranya sarat akan pengharapan yang besar.
"Eric masih takut sama monster? jangan takut—"
"nda~ eyik maw bobo thama ayah poko-na, boyeh?"
"Oh? boleh dong, sini-sini rebahan di samping Ayah." Langsung saja Jeno angkat tubuh kecil anaknya itu, kemudian membaringkannya pada space kasur sebelahnya.
Ngomong-ngomong, ia tak memegang macbook-nya lagi dari beberapa menit yang lalu. Benda elektronik itu ia matikan lalu disimpannya di atas meja nakas, kacamata anti radiasinya pun juga ia lepaskan. Pekerjaan urusan belakangan, yang utama baginya adalah bintang kecil kesayangannya.
puk puk puk~
Jeno menepuk-nepuk pelan bokong Eric agar batita itu cepat terlelap, namun yang dilakukannya itu malah berbanding terbalik dengan kenyataan.
"ayah......" panggil Eric.
Jeno memusatkan perhatiannya untuk sang putra, "Hm? Eric kenapa masih belum bobo?"
"eyik nda antuk agi, yah....." Athalla kecil itu mencicit.
"Lho, kenapa? tidur lagi yuk, besok kan mau main sama Dede Chaca." bujuk sang ayah.
"eung? ain thama dede caca!?"
"Iya~ main sama Dede Chaca, Eric tidur ya?"
"othey~ taphi ayah celita agi ya, boyeh?"
"Eric mau Ayah cerita dulu, baru bobo, gitu?"
"hu'um!! celita!! celita!!"
"Okey, eumm~ kita cerita apa ya?" Jeno terdiam sejenak demi memikirkan ide cerita untuk pengantar tidur bintang kecilnya. Manik legamnya menatap langit-langit kamar, sembari otaknya memikirkan dongeng apa yang harus diceritakan.
Beberapa menit berlalu, dengan Eric yang setia menunggu, akhirnya Jeno menemukan ide ceritanya kala pandangannya jatuh pada figura potret sang istri yang terpajang apik di atas meja nakas. "Ah iya, cerita tentang Karina." gumamnya.
"ayah...... mong apa?" si kecil menginterupsi sang ayah dengan pertanyaannya.
Pertanyaan Eric dibalas gelengan pelan oleh Jeno, "Ehm~ Ayah mulai ceritanya ya, Eric dengerin baik-baik." sebagai ganti jawaban atas pertanyaan sang putra, ia mulai ceritanya untuk pengantar tidur malam ini.
"Dia, adalah Bundanya Eric. Namanya Karina Yasmine Fatahillah." Jeno memulai kisahnya, tangan besarnya mengambil figura porter Karina yang ada di atas meja nakas.
"buna-na eyik!!! ayina ashmin atahiya!!"
"Ahahaha~ iya, Bundanya Eric."
"eung~ ayah, buna tu.... apa?"
"Bunda itu..... adalah orang yang melahirkan Eric ke dunia. Sebelum lahir, Eric ada didalam perut Bunda. Selama 9 bulan, Eric dibawa kemana-mana sama Bunda didalam perut. Oh iya! Bunda cantik lho, cantik banget. Bunda itu..... malaikat tak bersayap, dibawah telapak kakinya ada surga. Kalau Eric mau masuk surga, Eric harus berbakti sama Bunda, sama Ayah juga."
"eyik lam peyut buna? dibhawa manana? buna ntik? buna maikath? kaki buna ada chulga-na?"
"Iya...... Bunda hebat, kan?"
"buna ebat!! milip wondelomen!!"
"Ahahaha~ iya, Bunda mirip Wonder Woman."
"ayah....."
"Iya, ada apa nak?"
"eyik maw buna."
Jeno lantas terdiam kala mendengar ucapan Eric. Bibirnya mendadak kelu, rasanya sangat sulit untuk berucap barang sepatah kata pun. Ia hanya bisa merutuk diri sendiri karena membuat bintang kecilnya menginginkan sosok yang telah pergi.
"Maaf nak, Ayah nggak bisa menuruti keinginan kamu yang satu itu."
To be continued..........