Mereka mana mengerti, walau Laily telah mengamuk besar kemarin. Kebencian tetap kebencian dan mereka tak akan pernah peduli atau memberi belas kasihan pada nasibnya.
Karin berdecak kesal. "Lu disuruh beli sarapan aja gak bener! Gimana, sih?" omelnya cepat.
Plak!
Karin menampar Laily menghasilkan bunyi nyaring yang keras. Sang empu menatap kosong, hilang rasa.
Diana tiba-tiba menjambak Laily, sehingga sang empu tertarik ke belakang. Namun, si gadis berponi kembali mencoba menahan semua amarahnya setelah kejadian bodoh kemarin.
"Anak pembantu itu tugasnya melayani! Lu harusnya berusaha, supaya kita puas! Gak usah sok sok-an ngelawan!" ucap Karin penuh penekanan.
Penglihatan Laily mengabur, matanya berkaca-kaca menahan sakit, tapi rasa sakit hatinya lebih dalam serta menyiksa.
Dug!
"Argh ...." keluh Laily.
Kini dialah yang terdiam lemah. Mata itu sudah meredup, sayup. Tertelan gelap, remuk redam.
Bagaimana ia harus bertahan?
Sang ibu saja acuh terhadapnya.
Orang yang ia bela malah tidak peduli.
"Ayo, sini lawan! Padahal kemarin lu ngamuk kayak kudanil lepas," pancing Erika.
Mereka tersenyum puas. Tadi ibunya ditelepon, terancam akan dipecat. Sang Ibu sampai memohon-mohon membuatnya teriris pilu. Cukup dia saja yang menahan kesakitan. Jangan sang Ibu, maka hatinya akan lebih hancur lebur.
Cukup Laily yang menanggung, dia sungguh tak sanggup melihat sang Ibu menangis.
Hatinya 'kan lebih mati.
***
Perlahan kaki kecilnya memanjat pagar hati-hati. Dengan keadaan kurang baik, ia tetap memberanikan diri untuk tetap sekolah.
Rambut yang tak lagi rapih, seragam pun sudah tidak beraturan, belum lagi beberapa luka yang menghiasi wajah serta tangan. Dia tampak mengenaskan.
Keamanan sekolah cukup ketat, sangat menakutkan jika ketahuan. Apalagi jadwal piket hari rabu spesial itu guru BK. Kelar sudah.
Seberusaha mungkin, Laily berjalan pelan. Fokus memperhatikan sekitar, apakah aman atau tidak.
Bruk!
Laily jadi merutuk merasakan denyutan kuat pada bahunya, seseorang dengan keras tiba-tiba menabraknya begitu saja sampai tersungkur ke lantai. Mereka saling lirik sebentar. Namun, tanpa kata lelaki itu pergi meninggalkan sang empu, memilih melanjutkan langkahnya ke dalam kelas.
Laily mendengus, terkekeh sinis. "Cuih, ketua kelas."
Ibu Desi ternyata sudah berdiri di ambang pintu, menatap tajam pada Laily bagai mendapat sasaran empuk. Gadis itu mengerjap, memandang takut.
"BERDIRI DI LUAR SAMPAI PELAJARAN SAYA SELESAI!" katanya tegas, sehingga Laily menciut. Setelahnya Ibu Desi pun masuk, memulai pelajaran.
Laily menghela napas, mencibir dalam hati. "Pasti si ketua kelas yang ngadu. Sialan! Dia udah nabrak gue, gak minta maaf pula. Dasar hampas!"
Dia mengepalkan tangan, berdecak beberapa kali karena kakinya terasa pegal.
"Tuhan, lelah!" keluhnya, mengadu pada sang pencipta.
***
"Laily!" panggil perempuan paruh baya di luar kamar.
Sang empu mengernyit. "Iya mah?" tanya Laily kemudian beranjak mendekati asal suara.
Tanpa perlu banyak waktu, Laily bisa melihat sang Ibu yang tengah melipat kedua tangannya di dada, memperlihatkan wajah jengkel. Gadis itu merunduk, menghela napas pelan.
"Kamu gak liat mamah udah cape kerja? Cucian rumah masih numpuk! Kamu ngapain aja pulang sekolah?" omelnya, melotot tajam.
Laily menciut, memainkan jarinya, meneguk ludah dengan susah payah. "Ily tadi udah beberes, kok. Masak juga udah, Ily baru aja istirahat," ucapnya lemah.
Sang Ibu melengos kasar, "makanya ngerjain sesuatu itu yang cepet!" katanya sewot seraya berjalan, lalu duduk di kursi menghadap TV.
Meski Laily sudah mencoba, dia pasti selalu salah. Mungkin dia seperti itu karena lelah habis pulang bekerja. Laily hanya bisa terdiam, membiarkan sang Ibu meluapkan marahnya.
Laily berusaha setengah mati menyiapkan keberanian. "Mah ...." ucapnya lirih, perlahan Laily duduk tepat di sampingnya.
"Apa?"
"Mamah, baik-baik aja, kan, kerja di rumah Erika?" Ia menatap teduh, memperhatikan wajah sang ibu yang mulai penuh kerutan-kerutan halus.
Entah mengapa Laily selalu merindukan sosok Ibunya yang dulu, penuh kasih sayang, selalu tersenyum, dan begitu perhatian. Wanita paruh baya ini terlalu banyak menyimpan beban sendirian, menjadikannya wanita tangguh, keras, dan ketus. Bahkan sudah lama Laily tidak melihatnya tersenyum atau memberi pelukan hangat untuknya.
"Kenapa nanya kayak gitu?" sahutnya ketus dengan pandangan fokus menonton TV.
Laily tersenyum samar, matanya berkaca-kaca. "Ily mau mastiin aja. Mamah, udah makan, kan?"
"Udah. Bawel banget kamu! Seru nih, film-nya!" jawab sang ibu seadanya.
"Mamah, beneran gak apa-apa?" Laily bertanya kembali.
"Nggak!"Kenapa seketus ini? Benar-benar acuh. Kadang terasa menusuk pada Laily. Perasaan bersalah tak pernah pergi darinya.
Tidak bisakah sang Ibu melirik keadaan gadis itu?
Atau bertanya tentang kehidupannya?
Gadis itu hampir menangis, bersikeras ia menyeka, meremas tangan kuat.
Hatinya sangat ingin merengkuh sosok wanita di sampingnya ini, ingin meluapkan rasa rindu, menagih rasa aman, dan kembali merasakan kehangatan. Namun, terpaksa Laily harus mengurungkan niatnya karena sudah pasti akan membuat sang Ibu risih.
<<>>
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVIOR
Random"Kenapa keadaan selalu memaksa, bahwa gue gak bisa egois dalam mempertahankan hal yang gak bisa gue lepasin?" -Laily 6 Oktober 2021