ლ(◕ω◕ლ)
"Ini isinya apa aja, Ly? Kok banyak?" tanya Erika diseberang sana, tengah membuka kotak dari Laily dan Arka yang mereka kirim tadi.
"Kita ngasih lu penyadap suara sama lampu cctv. Sekarang lu cepet cepet suruh mang Udin ganti lampunya! Nanti bakal kesambung ke laptop gue, jadi bisa liat kejadian apa yang ada di sana. Biar jadi bukti," jelas Laily.
Erika mengangguk kecil. "Terus penyadap suaranya? Ada dua lagi."
Laily duduk di ujung tempat tidur. "Kita ngirimin lu penyadap suara, biar gue bisa denger apa yang lagi bokap lu omongin. Lu harus tempelin di tempat aman. Dibawah meja atau kursi ruangan bokap lu atau dimana pun lah, yang penting jangan keliatan," kata Laily mencoba sabar menjelaskan, seraya menggerak gerakan tangan berusaha serius.
"Ini bakal berhasil?" tanya Erika seperti ragu.
Laily membasahi bibir sejenak, menghela napas. "Bisa aja berhasil, asal lu tutup mulut! Terus jalanin apa yang udah gue instruksi. Arka udah nelpon bokapnya buat balik ke sini! Jadi kita harus cepet dapat bukti."
"Maaf, Ly! Gue selalu nyusahin lu, tapi kalo gak sama lu. Gue gak punya siapa siapa yang bisa diandelin." Erika tersenyum tipis, menyesal.
Gadis berambut coklat itu, memejamkan mata. "Gue udah muak, pengen cepet keluar dari semua ini. Pengen hancurin lingkaran yang udah buat kita nyakitin satu sama lain. Gue ngelakuin semuanya bukan karena lu doang, tapi Ibu gue juga ." Laily menghela napas, menguasai dirinya.
"Hmm,kita harus berhasil buat cari jalan keluar!" kata Erika bersemangat.
Laily mengangguk kecil. "Iya, harus!"
Telepon pun dimatikan. Menerima Erika kembali setelah apa yang telah ia lakukan pada Laily sebenarnya tak mudah, tapi selama ini Laily memang mencari sosok Erika yang seperti ini. Temannya.
Laily tak akan pernah lupa bagaimana Erika selalu membaginya hal hal yang ia suka dulu. Berbagi makanan bersama, sering membeli barang barang kembar, sudah seperti adik kaka. Bahkan mereka selalu bersama, meski tak bertahan lama. Namun, menurut Laily, Erika tetap orang yang harus ia jaga juga.
Sayup sayup Laily mendengar suara ketukan pintu. Ia jadi terkesiap, melompat kecil, langsung bergegas mencari siapa pelakunya. Perlahan, gadis berpakaian kaos oversize warna kuning itu menarik pintu.
Diam diam laily menggigit bibir kuat sekilas. "Rafael? A-ada apa?" katanya tersendat.
Rafael memandangi gadis mungil itu lama, ia tersenyum tipis. "Ikut gue liat sunset, yok! Gue traktir es krim," ucap Rafael ringan.
Laily mencelus, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Mengapa dia tiba tiba datang begini? Seperti tidak pernah terjadi apapun? Setelah lost contac begitu lama.
Rafael menoyornya dengan satu jari telunjuk. "Malah ngelamun. Gue makin ganteng ya?" tanya pemuda tersebut bergaya pecicilan, membuat Laily mendengus saja, merotasikan mata. Rafael tetap sama, menyebalkan.
"Iya, gue mau ganti baju dulu, El! Sabar!" sahut Laily, masuk ke dalam rumah.
"Lah, gue gak disuruh masuk?" kata Rafael menunjuk diri sendiri, cengo.
Laily menoleh sejenak, tersenyum agak terpaksa. "Silahkan masuk tuan Rafael!" Lalu berubah datar, melanjutkan langkah menuju kamar. Sukses membuat Rafael tersenyum lebar.
♡(˃͈ દ ˂͈ ༶ )
Laily berbinar melihat kilauan jingga itu memantul dari sungai yang berada di hadapan mereka. Semilir angin berhembus, menyejukkan begitu tenang. Ia tersenyum manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVIOR
Random"Kenapa keadaan selalu memaksa, bahwa gue gak bisa egois dalam mempertahankan hal yang gak bisa gue lepasin?" -Laily 6 Oktober 2021