9. Smile

98 48 0
                                    

*

Laily memucat, dia tak mungkin salah lihat. Jelas, tadi itu Rafael dengan motor kesayangannya. Namun, mengapa hati Laily mendadak hancur, saat melihat seorang perempuan memeluk manja Rafael dari belakang. Mereka seperti... seorang kekasih?

Sejak kapan?

Laily memang tak pernah bertanya, apakah Rafael telah memiliki pacar atau tidak. Hanya saja, seorang sahabat pasti bercerita apapun pada sahabatnya, kan?

Air mata lolos membasahi pipi. Hatinya memberat. Dia mengurungkan diri untuk pergi ke rumah Rafael.

Gadis itu menunduk dalam, menatap perban di kakinya. Baru kali ini dia merasa kecewa. Apalagi disebabkan Rafael.

Laily tersenyum hampa. "Gue mulai kehilangan lu, El."

*

"Laily, nilai kamu di ulangan harian ini paling besar lagi. Selamat, ya!" ucap Bu Farida lembut. "Ah, dan semoga kaki kamu cepet sembuh."

Sang pemilik nama membalas senyum. "Terimakasih, bu!"

Laily memang anak berprestasi. Nilai bagus, sudah biasa baginya. Namun, karena kepintarannya, dia malah dijauhi. Laily dianggap sombong, maka orang-orang tak mau berteman dengan dia.

Laily terlalu bodoamat serta dingin. Ah, bukan... topengnya terlalu kuat. Perempuan berponi tersebut menjadi tampak ketus. Menyebabkan orang-orang membenci Laily.

Pemikiran Laily terbilang sederhana. Kalo mau temenan, ya ayo. Kalo nggak, yaudah.

"Cuih, palingan dapet bocoran jawaban. Haha!"

"Buat apa pinter, tapi minus akhlak!"

"Makin sombong aja, anjir."

"So banget!"

Sekali lagi, Laily tak menghiraukan. Dia melipat kedua tangan di meja. Pura-pura tertidur di sana.

"Ssssttt! Diem woy! Rame banget, kek pasar!" tegur Arka, membuat mereka bungkam.

Arka melirik ke arah Laily sekilas. Ada sorot mata yang sulit diartikan di sana, pastinya hanya Arka yang tahu.

Pelajaran pun berlanjut.

***

Angin berhembus menerpa wajahnya yang tengah terpejam tenang. Dia selalu mengasingkan diri, jauh dari keramaian. Si poni rata menarik napas dalam.

"Andai aja.... " Laily bergumam parau. "Andai aja waktu itu aku mati, mungkin papah masih ada."

Dia tersenyum pedih dengan sesak di dadanya. Sungguh, jauh dari seorang ayah tidak pernah ada dalam bayangannya.

Samar-samar hidungnya mencium wangi parfum greentea tak asing. Semakin lama pun semakin kuat.

Laily membuka mata, menampakkan Arka yang telah duduk bersandar di dinding bersamanya. Gadis itu terperangah, kaget.

"Lu penguntit, ya?" kata Laily, mengintimidasi dengan wajah juteknya. Namun, malah terlihat menggemaskan dan lucu.

"Ppffttt! Heh! Emangnya taman belakang sekolah punya lu?" balas Arka menoyor jidat Laily seenaknya.

Laily mendengus kasar. "Ganggu ketenangan orang mulu," cibirnya tak suka.

"Kaki lu masih sakit?" tanya Arka, tidak mempedulikan Laily yang tengah mengomel.

"Gak."

"Gak apa?"

"Gak kenapa-kenapa."

Arka manggut-manggut kecil, mengalihkan pandangan pada langit yang menampakkan senja.

"Lu gak mau pulang?" kata Arka tanpa ragu.

"Bentar lagi, cape."

"Abis ngerokok lagi? Atau dibuly?"

Laily berdecak kesal. "Urusan lu apa? Ngapain lu di sini? Urus aja hidup lu sendiri!"

"Ngasingin diri, gak bisa buat lu ngindarin masalah. Lu pasti perlu temen, kan? Lu gak bisa hidup sendiri, Ly!" ucapnya memulai topik baru.

Laily melirik. "Lu lupa!? Mereka yang ngasingin gue," sanggahnya merasa perkataan Arka salah.

Mereka saling memandang beberapa saat.

Laily menghela napas berat. "Emangnya jadi orang pinter itu salah?" Ia menjeda seraya memalingkan muka, membuat Arka mengatupkan bibir.


"Gue emang pelit jawaban, karena gue mau mereka bisa pikir pake otak mereka sendiri. Supaya mereka gak bisanya ngandelin otak orang lain doang. Lagian, itu hasil kerja keras diri gue sendiri. Eh, dengan enaknya mereka tinggal minta contekan tanpa pengen coba usaha dulu." Laily memain-mainkan jarinya, memandang dalam.





Arka berusaha fokus mencerna dan jadi pendengar yang baik.

"Terus gue malah disalahin, dijauhin, dianggap sombong. Padahal kalo butuh, ke gue lagi."

Sebelumnya Arka tak pernah menyangka bisa mendengar Laily bicara pandang lebar. Iya, Arka malah salfok.



"Gue cuma siswa jalur prestasi, yang harus gue pertahanin tuh, ya otak sama nilai. Gue ngandalin beasiswa, gak kayak kalian yang pake duit. Sebisa mungkin, menghindari masalah dan fokus belajar. Jadi, gue cuma bisa diem."


Arka sedikit tertegun, walau ekspresinya tetap tenang serta terlihat acuh. Entah kenapa, perkataan Laily memang benar-benar dari lubuk hatinya. Kesakitannya bisa Arka rasa.

"Soal buly juga gitu. Jadi, jangan pernah ikut campur apa pun tentang gue. Karena gue lebih tau apa yang harus gue lakuin," dia tersenyum tipis, perlahan berdiri dari tempat duduknya.


Arka menghela napas, masih menatap langit lekat.

"Gue pergi," pamit Laily.








Arka menengok sepenuhnya setelah Laily cukup jauh, gadis itu masih berjalan terpincang-pincang.


Arka tersenyum samar. "Entah kenapa, lu wajib buat gue lindungin. Lu yang selama ini gue cari. Laily Andreasa."


-•

SAVIORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang