10. kalut

98 22 5
                                    


°

°

°

Tidak henti-hentinya Erika menendang-nendang tubuh Laily yang sudah meringkuk di lantai. Ia bahkan menginjak bahu rapuh itu, sampai sang pemilik meringis berkali kali, merasakan tekanannya menguat.

"Ahk-- lu keterlaluan Er!" keluhnya lirih. "L-lu gak seharusnya ngelampiasin ini sama gue!"

Erika menekan lagi sebelum melepaskan kakinya. Ia membungkuk, beralih meraih pipi bulat Laily kasar, menuntunnya ke posisi duduk.

"Lu harus lebih menderita dari gue!" Erika menghempaskan kepala Laily kuat sampai membentur dinding.

"Akhh--"

Sang empu merasakan denyutan, seperti mau meledak. Ia memegangi kepalanya, pening. Mengeluh sakit.

Erika menyeringai, bergulir menjambak rambut Laily hingga tergeletak lagi di lantai.

"Ini belum seberapa dari apa yang gue alamin!" Air mata lolos dari pelupuknya.

Laily mencoba mengerjap agar bisa mengendalikan diri. "Gue-- ngerti kalo lu tertekan sebab disiksa ayah kandung sendiri serta dibanding bandingin sama ketiga abang lu-- tapi itu gak ada kaitannya sama gue, Er! Lu harus nerima itu. Terima bahwa gue gak salah!" katanya memelan.

Erika menggeleng cepat, meremas rambut, meradang. "Nggak! Lu gak ngerti! Me-mereka maki-maki gue dari pas masih kecil sampe sekarang! Bahkan gue disiksa tanpa segan! Lu gak ngerasain semua itu!"

Laily memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam. "Tapi lu udah ngancurin hidup gue...." Ia menjeda. "Kenapa?"


"ARGH-- ENTAH KENAPA GUE GAK SUKA LIAT ORANG PEDULI SAMA LU! GUE BENCI, SAAT ORANG-ORANG NARUH RASA SIMPATI SAMA LU!" amuknya, membanting kursi di sampingnya ke sembarang arah dengan dada naik turun, penuh emosi.



Laily menatap tanpa daya.

"KENAPA BUKAN GUE? KENAPA DALAM KEADAAN SULIT PUN, GUE GAK DAPET PERHATIAN KAYAK LU? PADAHAL APA YANG GUE ALAMIN LEBIH PERIH, LY!"

Erika menarik paksa tubuh Laily agar kembali duduk, kemudian menggoyang-goyangkan bahunya, membuat sang empu hampir kewalahan. Laily mendorong pelan menggunakan tenaga sisa.

Air matanya berlinang. "Lu pikir hidup gue seenak apa, hmm? Gue juga menderita, Er! Cuma-- lu gak tau!" ujarnya lirih.

"Cih, menderita?"

"Lu liat ini!?" Erika menunjukkan banyak luka memar dan bekas cambuk di tangan serta kakinya yang tertutup cardigan maupun kaus kaki.

"LU GAK DAPET SEMUA INI!"

"SETIAP HARI GUE DITUNTUT SEMPURNA!"

"SETIAP HARI MEREKA PERLAKUIN GUE LAYAKNYA SAMPAH!"

"GUE DISIKSA MACAM HEWAN!"

"DIACUHIN!"

"DIHINA!"

"DISALAHIN TERUS ATAS KEJADIAN YANG GUE SENDIRI GAK NGERTI!"

"GUE CAPE! BAHKAN GUE PENGEN MATI TIAP HARI!"

"Hidup gue hancur, Ly-- HANCUR!"

"Sedangkan lu? Punya Ibu, pinter, sahabat yang care-- hidup lu bahagia!"

Erika menendang meja, menyalurkan keemosian. Ia mengusak kasar rambutnya, gusar. Menangis sesenggukan.

Namun, berikutnya ia tertawa terbahak-bahak seperti orang gila, lalu tersenyum miris. "Dan gue gak punya semua itu--"

"Gue sendirian!" lanjutnya jadi berintonasi parau.

"Tanpa ada orang yang peduliin gue-- semua gue tahan sendiri, Ly!" ucapnya lemah, melontarkan tatapan sendu.

"Lu gak tau apa pun tentang gue Er!" sanggah Laily cepat. "Dan lu gak berhak tumpahin semua rasa sakit lu itu ke gue! Jangan karena gue gak bisa apa-apa, lu berbuat seenaknya! Inget! Lu temen gue!" tegas Laily.

Erika menggeleng. "Kita gak pernah jadi temen! Kehidupan lu sama gue terlalu beda!"

Laily diam terpaku. Netra gelapnya tenggelam dalam rasa pedih. Hatinya terluka. Dia bagai dijerumuskan ke dalam jurang yang sangat curam dan berbatu tajam.

Hening.

Hanya terdengar suara tangisan di sana.

Sampai pada akhirnya, Erika meninggalkan si perempuan berponi. Suntuk.

Laily terpejam sejenak, menjatuhkan sisa-sisa air mata yang masih tertinggal.

"Lu salah...." Dia memandang datar goresan-goresan luka di punggung tangannya. Tersenyum nanar.


"Kita temen! Dan temen gue gak boleh ada di jalan yang salah."



°°••-🍁-••°°

SAVIORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang