17. Malam Panjang

125 65 4
                                    

(~_~メ)

Gadis itu termenung lama, memejamkan mata, menikmati setiap isapan rokok di tangannya, kemudian dihembuskan perlahan. Mata bundar milik sang empu menyendu.

Dia terduduk di lantai, bersandar pada ujung tempat tidur, menghadap jendela. Dadanya terasa memberat. Berusaha membenarkan apa yang sejak tadi berputar dalam pikirannya. Sudut pandang video itu, membuat Laily semakin yakin siapa yang merekam.

Laily menghela napas, mengacak rambut gusar. Dia menghempaskan puntung rokok tersebut ke dalam asbak. Bahkan pikirannya malah semakin berhamburan tak karuan. Bagaimana ia bisa berada dalam posisi seperti ini?

Pandangannya mengeruh. "Ga ada yang mau bawa gue pergi dari sini aja, gitu?" Berintonasi parau.

Dia memegang lehernya yang terasa kosong. Bodoh, bahkan Laily baru ingat lagi sekarang. Perempuan berponi rata tersebut menunduk dalam, punggungnya bergetar, dengan tangan terkepal di dada. Setengah mati menahan tangisnya. Ia menggigit bibir kuat, berusaha meredam isakan di tengah kesunyian malam.

Perlahan Laily menarik napas, membesarkan hati. Laily mengusap pipi dengan punggung tangannya. Menipiskan bibir sejenak. Besok, dia harus lebih kuat lagi. Pasti ada jalan agar semuanya cepat selesai.

Laily melihat jam, pukul 09.30pm, seketika mengambil benda pipih di sampingnya. Jari jari lentik itu bergerak lihai mencari satu nama di kontaknya.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya seseorang di sebrang sana menerima panggilan. "Gue mau ketemu sekarang di taman deket rumah gue!"

Dia mematikan telepon sesudah mendapat persetujuan. Segera beranjak, mengambil sweater hoodie oversize warna hitam yang tergantung.

Laily menelan ludah sebentar, mengecek lampu di kamar Ibunya sudah mati apa belum. Dia menghela napas lega, sudah dipastikan Zaleya tertidur.

╏ ” ⊚ ͟ʖ ⊚ ” ╏

Sudah beberapa menit Laily menunggu di taman. Gadis itu menggigiti kuku, cemas. Tidak ada jalan lain. Walau sebenarnya Laily tak mau melibatkan dia dalam semua masalah ini.

Namun, tak lama setelahnya sayup sayup suara motor mendekat, membuat Laily terkesiap. Lelaki berjaket kulit hitam tersebut membuka helm, menuruni kendaraannya.

Secara cepat Laily berlari ke arah pemuda itu, reflek memeluknya. "Makasih udah datang, Ka!"

"Wow, wow, wow! Tenang Ly! Lu kenapa?" tanya Arka terkejut mendapati gadis ini tiba tiba bersikap begitu.

Laily mengulum bibir, melepaskan pelukan. Menatap Arka lurus, sungguh sungguh. Arka menangkup kedua pipi tembam milik Laily. Melihat jelas mata sembabnya.  "Lu baik baik aja?"

Gadis itu menipiskan bibir. "Gue mau bicara serius sama lu!"

Arka mengangkat kedua halisnya, sekaligus melepaskan tangannya. "Gue udah siap kok, Ly," ceplos Arka.

"Ha? Siap apa?"  balasnya cepat, mengernyitkan halis tak mengerti.

"Jadi pacar lu, kan?" Arka memandang polos. Laily jadi membuang muka, berdecak, melengos lelah.

"Duduk dulu, Ka! Ini bukan tentang kita," kata Laily lebih rileks. Arka menurunkan bahu, agak kecewa.

Mereka duduk bersebelahan di kursi taman. Laily memasukkan tangan ke dalam hoodie, menatap datar lampu taman.

SAVIORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang