-
-
-
Kedua kakinya yang terluka berlari kecil bersama gerombolan orang-orang di kelasnya. Ia tidak meringis atau pun peduli akan rasa sakit itu. Masih tetap datar, membungkam.
Sementara kelas 2 Ipa 2 atau kelas Erika sedang bermain bola di tengah lapangan, maka Kelas 2 Ipa 1 atau kelas Laily sedang berlari mengelilingi mereka.
Seseorang menyeringai di balik sana.
Bruk!
"Tepat sasaran!"
Erika menendang bola ke arah Laily, sengaja. Si gadis berponi terhuyung ke belakang sampai jatuh tersungkur. Tanpa menuntut perotes bahkan tidak bergeming, ia malah merunduk melamun sendu, menatapi beberapa memar, dan goresan di tangannya.
Orang-orang di sekitarnya memekik kecil, ketika melihat dia terjatuh secara tiba-tiba tadi. Mereka berhenti, hanya menatap tidak ada yang menolong.
Sementara Erika menunjukkan gurat senyum kepuasan layaknya berhasil tepat menembak mangsa. Ia berjalan mendekat, mengubah ekspresi tak berdosa.
"Duh, gue gak sengaja!" katanya dibuat-buat.
"Lu gak apa-apa, Ly?"
Laily tak menyahuti seolah tuli. Pikirannya masih blank. Tetap datar, tanpa ekspresi. Namun, lama kelamaan pandangannya membuyar, lalu gelap.
Ia pinsan.
Orang-orang semakin berkerumun untuk melihat apa yang terjadi.
"Gue bakal bawa di ke UKS," ucap ketua kelas.
Raut wajah Erika menurun, melontarkan tatapan menghunus, tak suka. Kenapa harus ada yang peduli dengan gadis miskin ini, si? Ah, pertunjukkannya gagal.
"Erika! Lu ada masalah apasi?" ucap Nasha sinis, menyenggol lengan Erika.
Erika mendengus, merotasikan mata seraya melipat kedua tangan di dada. "Eh, gue gak sengaja. Lagian gak keras juga, kok! Si miskin aja yang lebai!" elak Erika tidak terima disalahkan.
"Lu bisa gue laporin, loh! Jaga mulut sampah lu!" ancam perempuan berambut hitam itu, mengancam serta mencibir.
Erika berdecak, "dih! Ketua kelas gue aduan banget, lebai anjir!" Ia melengos kasar, merutuki Nasha.
Di sisi lain, Arka segera menggendong Laily, hendak membawanya.
"Sha, bilangin sama Pak Ali kalo gue ke UKS!" kata Arka setengah teriak karena kerecokan para siswa yang melihat aksi itu.
Nasha tersentak pelan, gara-gara terkejut. Cepat ia mengangguk. "Iya, tenang aja!" sahutnya mendapat senyuman tipis Arka.
Erika ternganga ketar ketir melihat mereka. Lah? Makin melenceng aja rencananya. Dia meremas tangan sambil terus menyorot mereka sampai benar-benar lenyap di balik koridor sana, begitu pun Nasha.
Nasha melirik tajam pada Erika. "Cari masalah mulu, lu! Gak kapok kapok, kalo gue perhatiin. Padahal kasus lu udah berderet di buku kelas, sampe bosen gue nulis nama lu tiap hari!" omelnya, malu punya warga kelas berandalan macem Erika.
Si gadis yang diomel, hanya mencibir menanggapi. "Terserah gue, lah! Lagian gue gak nyuruh lu buat nulis nama gue. Ngefans, ya?" ucap Erika tak kalah sewot.
Nasha menghela napas saja, istighfar dalam hati. Lelah menghadapi satu setan ini.
🍁🍁🍁
"Kenapa lu ada di sini?" katanya dingin, setengah sadar. Laily menatap lurus.
Arka diam tidak menyahut. Tengah fokus melakukan kegiatannya. Dengan telaten ia mengolesi obat merah di tangan si gadis berponi.
Gadis berponi tersebut meringis. "Gak usah so peduli!" ketusnya.
"Gue baik-baik aja!" ucapnya datar, seraya berusaha menjauhkan tangan dari Arka.
Arka tetap tak mendengar, malah mempererat cekalan. Laily sampai tak habis pikir atas apa yang Arka lakukan. Walau begitu, Laily tetap bersikeras.
"Lu makin nyakitin gue!"
"Makanya diem!" ucap Arka tak kalah dingin.l
Si lelaki bergigi kelinci membalut luka-luka itu menggunakan hantsaplas.
"Gue bilang, JANGAN PEDULI LAGI SAMA GUE!" teriaknya, refleks berdiri, menarik tangannya.
"Argh!"
Bruk!
Ia memekik ketika kakinya terasa ngilu sampai menjatuhkan diri ke lantai. Laily mengumpat tanpa suara. Pasti kini dia terlihat seperti orang bodoh.
Arka berdecak, membuang napas, lalu membantu Laily agar kembali duduk ke posisi semula. Hati sang empu terenyuh. Ia menggigit bibir kuat, merutuki diri.
"Lu tinggal diem aja susah banget, ya!? Gue lakuin ini buat nebus kesalahan gue! Bukan peduli sama lu! Paham?" sarkas Arka.
''Cuih, brengsek!'' batin Laily.
Si pipi chubby mendengus, kesal. Arka hanya melengos, setelahnya ia berlutut. Berniat membuka sepatu Laily.
"Lu mau ngapain?"
"Kaki lu sakit, kan?"
"Gue gak apa-apa! Masih kurang jelas?"
Arka merotasikan mata, kembali tidak menghiraukan, tetap melanjutkan aktivitas. Walau sangat ingin bilang....
"Terserah."
Kesekian kalinya, Arka menghela napas, mendapati beberapa luka basah di sana. Sebagian masih ada yang berdarah pula.
"Lu abis latihan debus di mana?" kata Arka mencibir.
Laily tak menjawab, si gadis bermata bulat itu hanya membuang muka.
"Masih ngambek lu? Gue, kan, dah minta maaf!" Arka tetap tidak digubris.
Si gigi kelinci beranjak, membawa baskom berisi air hangat, dan handuk kecil. Cukup sabar menghadapi perempuan ketus ini.
"Biar gue yang lakuin sendiri!" cegah Laily, mau mengambil alih.
"Diem gak!?" Arka menepis pelan, menjauhkan tangan Laily.
Arka mendongak, memerhatikan si gadis yang terdiam. Ia mengulas senyum.
Laily mendengus. "Mau lu apa?"
"Kita temenan."
"Hah?"
Arka tanpa aba-aba berdiri, berbisik jelas di samping telinga Laily. "Temenan, Ly!"
Seketika sang empu membeku, sedikit merinding.
"Tapi tadi dia bilang kalo dia cuma simpati, kan?"
"Maksudnya apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVIOR
Random"Kenapa keadaan selalu memaksa, bahwa gue gak bisa egois dalam mempertahankan hal yang gak bisa gue lepasin?" -Laily 6 Oktober 2021