Kadang keadaan yang mendesak kita harus diam meski bisa melawan. Derajat seolah lebih utama daripada kebenaran. Menindas orang lemah dan melemahkan mental menjadi sebuah kebiasaan.
.
Laily menggerutu, tumpukkan tugas di atas mejanya begitu menumpuk. Semua ini bukan miliknya. Seperti biasa Erika, Karin, dan Diana lah yang menyuruh.
Dari tadi sore Laily mengerjakan, tapi belum selesai juga. Sang empu merengek, merenggut malas ingin melempar bahkan membakar buku-buku di hadapannya. Namun, sayang. Mau tak mau tetap harus diselesaikan. Jika tidak, besok hidupnya lah yang akan selesai.
Gadis itu merunduk lunglai, menipiskan bibir benar-benar kehilangan semangat.
Ia membuka laci, mengambil sebatang rokok di sana. Laily menghidupkannya, kembali pada kebiasaan buruk. Menjadikan rokok pelampiasan ketika ia sangat lelah menghadapi realita.
"Kapan hidup gue berubah?"
.
Byur!
Mereka tertawa keras melihat Laily keluar dalam keadaan basah kuyup dari toilet. Ia menarik napas panjang, mengepal tangan kuat.
Diana tersenyum licik. "Ada tikus abis kecemplung dari got, tuh!" katanya menunjuk jiji.
"Eoh, bau!" ucap Karin menutupi hidungnya.
"Gue gak tahan lama-lama di sini. Bawaannya pengen muntah kalo liat dia. Kita pergi aja!" Sinis Diana, melengos pergi, lalu di buntuti Karin.
"Lu harus sadar, kalo lu itu cuma sampah! Sekolah karena beasiswa aja bangga," tekan Erika, berbisik tepat di samping telinga Laily.
Sang empu mengeraskan rahangnya seraya menatap dingin. Laily mendorong Erika kuat. "Jelaslah bangga, soalnya gue berjuang. Gak kayak lu yang di asuh sama uang. Manja!" balas Laily menusuk.
Erika mendengus, membuang muka, merasa tertohok. "Sialan lu!"
Laily menunjukan semirik meremehkan. "Kenapa? Ngerasa, ya? Ngerasa kalo lu cupu dalam segala hal? Lu gak bisa kan, ngelawan gue tanpa ngancam? Lu gak bisa saingin gue dalam prestasi. Kenapa? Karena lu cuma hampas."
Plak!
Erika menampar Laily sangat keras hingga kepalanya tertoleh ke samping. Dia mulai naik pitam dengan napas memburu.
"Lu gak tau diri, ya! Lupa, kalo keluarga gue yang udah nyelamatin lu, hah? Uang yang udah nyelamatin lu! Bukan otak! Otak lu gak berguna!"
Sosok berponi itu diam seraya menyentuh pipinya yang terasa panas. Ia memejamkan mata sejenak. Mengatur napas, supaya tetap tenang.
Erika mencengkeram erat kedua bahu Laily. "Lu punya hutang nyawa! Ibu lu juga ada di tangan gue!"
Tangan Erika beralih menjambak rambut Laily. "Gak usah so ngelawan! Tempat lu itu di tong sampah, gak selevel sama gue!" sarkasnya, kemudian menendang tulang kering Laily.
Ia mendorong Laily lebih kuat. "Nyawa lu, ada ditangan gue."
Melawan, bukanlah pilihan tepat. Itu hanya akan menjerumuskannya pada jurang yang lebih dalam.
Sang empu meringis, tubuhnya mulai melemas, lunglai. Dia merosot ke lantai. Menatap kosong.
"Kenapa lu gak bunuh gue aja?" ucap Laily melirih.
"Liat lu menderita itu sensasinya lebih kerasa daripada liat lu mati."
.
Laily memandangi pantulan dirinya di cermin. Dengan poni tak beraturan akibat tersiram. Seragam yang sedikit basah, serta pipi merah, akibat tamparan tadi. Penampilan itu selalu ia dapat hampir setiap hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVIOR
Random"Kenapa keadaan selalu memaksa, bahwa gue gak bisa egois dalam mempertahankan hal yang gak bisa gue lepasin?" -Laily 6 Oktober 2021