5. Kebodohan

99 38 1
                                    

°

°

°

°

Laily menghela napas berat. Sadar, sangat sadar bila dalam keadaan tersulit pun, ia tak mendapat setitik kehangatan.


Ia menatap keruh ke arah sang ibu yang tengah menunduk damai dengan makanannya. Laily menurunkan bahunya, lemah. Memain-mainkan makanan di piring seolah telah kehilangan nafsu.

"Mamah marah? Apa-- mamah begini karena aku penyebab kepergian papah?" Perkataan memilukan yang keluar dari bibir mungil Laily secara refleks membuat sang ibu mendongak.

"Aku anak mamah, kan? Aku selama ini selalu berusaha buat ngertiin mamah, tapi-- kenapa mamah gak pernah mencoba buat ngertiin aku? Apa aku cuma kesalahan di mata mamah?" Mata bulat miliknya bergetar.

"Kenapa, mah?"

Zaleya terhenyak oleh penuturan lirihnya, memperjelas duri yang telah menghujani hati. Menimbulkan keperihan. Ia masih memilih bungkam, terlarut dalam pikiran rasa bersalah.

Laily menunduk lesu, gadis berponi itu menipiskan bibir. "Mengapa kita selalu bertengkar dan canggung?" Cairan bening merembes keluar dari matanya, secara perlahan kedua pipi Laily berangsur memerah.

"Bahkan, mamah meluk aku aja gak pern--" Laily menggigit bibir, meneguk ludah, terasa begitu keluh, sulit melanjutkan.

Apakah keadaannya yang se'menyedihkan ini masih belum jelas? Laily hanya meminta sedikit hak. Ia ingin memperbaiki semua kesalahannya.

"Mamah, tau apa yang Laily harap dari mamah? Apa mamah pernah bertanya kalau Laily baik-baik aja dengan sikap mamah?" tanyanya gusar, tertawa miring.

Raut wajahnya memurung serta pucat pasi. Memegang sendok saja seperti kehilangan tenaga.

Segera ia menyeka air mata, berusaha mengendalikan diri. "Salah jika Laily rindu?" Bibir bergetar hebat.

"Laily rindu kehangatan mamah, pelukan mamah, dan rasa aman saat Laily pulang ke rumah."

"Salah, kah, bila Laily menagihnya?"

Wanita paruh baya itu tetap tak bergeming.

Ia menggigit bibir dalam, berusaha tidak mengeluarkan isakan. "Salah, kah?"

"Setiap hari, mah! Setiap hari aku berharap mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan bodoh itu! Bahkan aku udah cape terus menerus mengharap hal yang mustahil mamah beri!" Laily mengusap air mata kasar mengenakan punggung tangannya, memandang hampa sang Ibu.

"Laily udah cukup kehilangan papah!" Ia tertawa sumbang, menjeda.

"Jangan ditambah mamah!" Suaranya melemah, kacau.

Zaleya meremas sendoknya, paru-parunya seolah menyempit sehingga ia terasa sesak mendengar penuturan itu.

"Aku cape, mah! Apakah aku meminta kehidupan seperti ini? Bahkan aku tidak bisa menolak untuk dilahirkan--" Laily membiarkan kekecewaannya mengalir, sulit mengontrol diri.

"Aku juga rindu papah, aku juga terpukul atas kepergiannya, tidak bisakah mamah mengerti? Tidak bisakah mamah melihatnya?"

Laily berkali-kali mengatur napasnya yang memburu. "Mah, aku juga rindu mamah!" Ia merunduk dalam.

Sang Ibu berdiri, melengos, meninggalkan meja makan kemudian masuk ke kamarnya tanpa berkata apa-apa.

Gurat keputus asa'an tersirat jelas, mata sembabnya menatap nanar punggung Zaleya yang telah menghilang. Air mata setia mengalir deras. Ia meremas kuat jari jemajarinya, menjerit tanpa suara. Merasa tak percaya.

Ia berdiri, berjalan gontai ke kamar, menutup pintu.

Dadanya terasa penuh sesak, tergoncang, dia mengerang pelan, menjatuhkan diri ke lantai. Laily mempererat kepalan, memukul-mukul lantai, meraung tak bersuara.

Ia melempar benda apa pun di sekelilingnya ke arah cermin, sehingga membuat pecahannya berserakan. Si gadis berambut cokelat mengacak-acak rambut, frustasi.

"Argh-" pekiknya tertahan. Sang empu menggampar pipinya sendiri beberapa kali, menyesali semua perkataan yang keluar tadi.

Laily berjalan tanpa beban menuju tempat tidur. Tidak peduli sedikit pun bila pecahan-pecahan itu menancap pada kakinya, bagai mati rasa. Sudah terlalu hanyut dalam rasa sakit sang hati.

Laily menatap pilu dirinya, walau sudah menyeka, air mata tetap luruh membasahi lagi. Seola rasa sakit serta kecewa berdatangan turun silih berganti.




🍁🍁






Pagi pagi buta, Zaleya sudah tidak ada. Bahkan Laily belum bertatap muka dengannya pagi ini. Laily kembali merutuki diri atas kejadian semalam.

Ia menghela napas panjang sebelum raut wajahnya yang dingin serta datar membelah kerumunan koridor sekolah. Dia berjalan lurus, tak minat menanggapi pernyataan orang-orang yang melihatnya aneh bahkan berbisik-bisik karena kondisi Laily cukup terbilang-- kacau.

Aura dingin terpancar semakin menusuk. Tatapan acuh miliknya, memperjelas bahwa luka yang ia rasa tak sebanding dengan rasa sakit sang hati.

Perempuan berponi tersebut seolah tuli dan kehilangan nyawa. Pikirannya kalang kabut ketika menelisik kembali ekspresi wajah ibunya yang sulit digambarkan.

Beberapa lebam serta goresan-goresan terlihat kontras di tangan putihnya. Netra gelapnya menjelaskan keadaan, jika ia sedang mempunyai banyak masalah.

Sungguh, Laily sudah tidak peduli keadaannya sekarang.

Tanpa memakan waktu lagi, si perempuan bertubuh kurus itu sampai di kelas. Ia membuang napas. Mendudukkan diri di kursi miliknya dekat jendela yang mengarahkan langsung ke arah lapangan.

Sekarang waktunya pelajaran olahraga. Laily memang sudah mengenakan pakaian yang tepat, akan tetapi sama sekali tak ingin ke luar untuk menyusul semua teman kelasnya di lapangan.





Tinggalin jejak ya^__^

SAVIORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang