Mom

721 85 16
                                    

Jay POV

Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya, tubuhku menegang. Sudah berapa tahun aku tak bertemu dengan ibu?

Wajahnya tetap cantik. Wajah yang selalu tersenyum kapan saja. Dipelupuk matanya berlinang air mata, dia terus tersenyum melihatku.

"Kau sudah terlihat dewasa, sayang." Ucapnya lirih

Langsungku peluk dengan rindu sosok wanita didepanku ini. Dulu dengannya tinggiku masih sejajar, tapi sekarang aku lebih tinggi.

Aku merindukan ibu, sangat. Bahkan air mataku sedikit keluar.

"Darimana ibu tahu aku disini?" Aku melepaskan pelukannya dan menyeka air mataku.

Ibu tersenyum bagai malaikat. "Tidak penting ibu tahu dari mana, yang penting ibu bertemu denganmu."

Dengan rambut ibu yang tambah panjang, membuat dirinya semakin cantik.

"Jay?" Suara dari arah belakang mengangetkanku.

Aku membalikkan badan dan mendapati Ni-Ki sedang menatap kami berdua dengan senyum.
Awalanya ibu terlihat kaget juga sedih, tapi entah apa yang ada dipikirannya, ia langsung tersenyum hangat ke arah Ni-Ki.

"Ibu, dia Nishimura Riki."

"Pria yang tampan, kekasih mu kah?" Ni-Ki yang mendengar pujian, langsung tersenyum malu.

Ibu tahu aku tak ingin menjawab, jadi ia meminta jawaban ke Ni-Ki, dan tentu saja dengan senang hati Ni-Ki menggangguk.

"Apa sebaiknya ibumu dibiarkan masuk dulu Jay?"
Tegurnya menghilangkan lamunanku.

"Oh ya, masuklah bu."

Ibu melangkah ke dalam, matanya melihat kesana sini, melihat tiap titik sudut apartementku. Ni-Ki mengekor dibelakang ibu, di persilahkan olehnya untuk ibu duduk.

"Kau tinggal disini, Riki?"

Aku yang sedang membuat minuman untuk ibu, sesekali menengok melihat Ibu dan Ni-Ki sedang asik mengobrol.

Dengan sopan Ni-Ki menjawab. "Tidak, aku tinggal bersama ibu tiriku."

Malaikat berwujud manusia itu mengangguk mengerti. Tak sampai sana pembicaraan mereka
Ibu bercerita tentang masa kecilku, sungguh itu memalukan. Ni-Ki hanya membalasnya dengan tertawa geli dan meledekku.

"Bu, aku melupakan sesuatu," Ucapku sekaligus mengalihkan pembicaraan. "Aku rindu teh buatanmu." la langsung tersenyum lebar dan berjalan ke arahku dengan jalan khas nya.

Diambil olehnya teh yang berada di tangan kiriku, dan termos di tangan kananku."Kau duduk lah bersama Riki"

Aku megangguk mengerti, saat aku hendak berjalan ke arah Ni-Ki, Ibu menahanku dan menatap leher kiriku.

"Apa ini?" Disentuh oleh ibu dan terasa sedikit nyeri. "Kenapa merah?"

Baru sadar apa yang ditunjuknya, wajahku langsung memerah, Ni-Ki yang duduk di ruang tamu, melotot kaget.

Ini mark yang dibuat Ni-Ki tadi! Ya tuhan!!

Aku menutup leherku dengan tangan kiri, tatapan ibu sekarang makin menuntut. Apa yang harus kubilang?

"Jay, Riki! Jujur padaku, apa yang kalian lakukan?" Malaikat dalam dirinya sekarang sudah pergi, digantikan oleh iblis.

Nadanya sangat tegas. Aku takut, aku takut jika ibu mulai menceramahi kami berdua. Dulu, ibu, jika aku hanya berkata 10 kata dan itu salah, aku akan diceramahi olehnya 10 miliar kata. Dari siang bolong hingga matahari tenggelam.

Ni-Ki masih duduk dalam diam.

"Jawab."

"Bu, aku sudah dewasa, aku sudah 25 tahun, juga aku bebas melakukan apapun karena tak ada keluarga di sampingku."

Ibu diam tak bicara, hanya menatapku dengan tatapan bersalah.

Mungkin ia mengerti perasaan ku. Bagaimana perasaan 8 tahun tinggal sendiri, tanpa orang tua, tanpa keluarga. Hanya sebatang kara.

Tak ada yang melarangku untuk berbuat apapun, jika aku bunuh diripun, paling hanya muncul di koran. Itu juga di halaman belakang dan di pojokan bawah.

Berbeda dengan Ni-Ki, ia masih mempunyai keluarga walaupun bukan asli, tapi dia masih mempunyai seseorang di sisinya.

Walaupun ibu tiri, tak seperti cinderella, ibu Ni-Ki malah sangat perhatian dengannya, namun karena Ni-Ki masih marah saja padanya, karena ayah satu-staunya yang ia cintai dan yang ia miliki diwaktu itu, dibunuh dengan selingkuhan ibu tirinya.

Sebab itu aku dan Ni-Ki saling melengkapi satu sama lain, Ni-Ki butuh orang untuk menyayanginya, begitupula denganku.

Ibu mengusap tanganku dengan lembut. "Jay, kau tahu prinsip keluarga kita kan? No sex before married."

Aku mendengus. "Keluarga kita? kupikir aku bukan keluarga kalian lagi." Jawabku sarkastik.

"Kau bicara apa? tentu kau masih keluarga kami, sayang."

"Setelah aku di usir hanya karena pilihanku? setelah 8 tahun aku tak tinggal dirumah itu? setelah ayah berkata tak pernah mempunyai anak yang gay? Coba pikir baik-baik bu."

Ni-Ki berbisik memanggil namaku, tujuannya untuk menyadarkanku tetap tenang.

Sayang sekali, itu tidak berhasil.

Ibu menggeleng sedih. "Jay, ibu tahu ini sangat berat untukmu tapi-"

"Berat? tidak bu! Ini tidak berat, aku bebas melakukan apapun, aku bebas memilih pasangan, aku bebas untuk bercinta dengan Ni-Ki dimana saja, tanpa cacian atau makian dari ayah, tanpa tangisan ibu yang setiap kali kudengar jika ayah memarahiku. Aku bebas!"

"Jay!"

"Diam, Riki! Kau tidak ada urusannya dengan ini, kau tak pernah merasakan rasanya aku dibuang oleh keluargaku sendiri, kau tak merasakan perjuanganku mencari tempat tinggal disana-sini, kau tak tahu rasanya berjuang hidup, kau tak tahu rasanya ditolak sana sini saat mencari pekerjaan, kau tak tahu rasanya makan hanya 1 kali sehari, kau tak tahu rasanya sakit ini saat orang tua kita tak mengerti apa yang kita rasakan!"

"Ibumu selalu sayang padamu, Jay! Kau pikir tak susah mencarimu yang tak jelas dimana? beruntunglah ibumu masih ada, mungkin memang aku tak merasakan itu semua, tapi kau tak pernah merasakan bagaimana tinggal dengan orang yang bahkan sama sekali tak ada hubungan darah denganmu, kau belum pernah merasakan bagaimana orang tuamu meninggal."

"Kubilang diam!"

"DIA IBUMU, JAY!" Teriakkan Ni-Ki membuatku sadar kembali, mataku yang tadi tertutup oleh gelap kembali terang.

Kuatur napasku, pandanganku tertuju pada Ni-Ki yang juga sama mengatur napasnya.

Lalu kulihat ibu yang berada di depanku. Ibu...menangis?

Ya tuhan! Apa yang telah kuperbuat? Air matanya belum jatuh membasahi pipi, masih tergenang di pelupuk. Tapi tetap saja masih tersenyum.

"Ibu.... a-aku"

"Jay, maafkan ibu yang tidak pernah mengerti perasaanmu, maafkan aku yang hanya menangis jika ayahmu memarahimu, ibu bukan orang tua yang baik untukmu. Dan yaa, maaf menganggu, sepertinya ibu harus pergi."

Sekejap ibu langsung keluar, meninggalkan ku dan Ni-Ki yang hening. Sampai Ni-Ki membuka mulut.
"Kau bodoh"

Aku mengangguk, "Ya, aku memang bodoh."
Ucapku seraya melangkahkan kaki ke kamar.

.
.
.

Olaa bertemu lagi.

Gamau banyak omong cuma mau bilang jangan lupa vote and comment, JANGAN LUPA STAY HEALTH SEMUANYA !!

My Gay Teacher Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang