Dua belas

8 2 0
                                    

Hal paling melegakan untuk hati adalah menangis ketika beban sudah tak mau diajak berdamai. Kehilangan bukan hal mudah ternyata. Diriku masih saja menangis karena Aji. Aku pikir Tuhan masih akan berbaik hati memberiku kesempatan untuk menjadi satu dengannya. Kabar lamaran tidak langsung yang disampaikannya seolah menjadi akhir dari kisah ini. Barangkali bukan akhir. Karena tidak pernah ada kata mulai untuk kami berdua.

"Enggak perlu terburu-buru untuk keluar dari rasa sedih. Dinikmatin aja dulu."

Aku menengok pada sosok bertubuh tinggi disampingku, Nadir. Cowok yang kutolak demi Aji. Masih mau menggenggam tanganku padahal Aku sudah jahat terhadapnya.

Andai yang menggenggam tanganku adalah Aji. Mungkin jauh lebih mudah untuk menghentikan tangis.  Semua hanya imaji, Aji tak akan mungkin lagi menemuiku. Dia telah punya tangan lain untuk digenggam.

Aku lebih memilih diam daripada menanggapi omongan Nadir. Jahat? Iya,  Aku mengajak orang yang menyukaiku untuk menemaniku menangis karena cowok lain. Andai hati dapat kuatur pada siapa jatuhnya. Nadir akan ku jadikan pilihan. Sayang itu bukan kuasaku.

"Kalau lo mau pulang boleh kok, Dir." Ucapku sambil terisak.

Samar Aku melihatnya tersenyum. Detik selanjutnya, kurasakan tangannya menarikku dalam dekap.

"Lo boleh pinjam dada gue buat nangis. Hari ini aja. Besok tolong jangan begini lagi." Suara beratnya selalu sama tenang.

Untuk hari ini saja biarkan Aku menangis. Tidak lagi sendiri. Setidaknya ada yang mendekap dan menemani mengusaikan tangis.
***
Setelah sibuk menangis. Dan bergelut dengan diri sendiri. Kuberanikan diri menemui Aji. Dia tengah duduk di bangku seberang sana. Kemeja hitam, celana jeans, dengan kaki berbalut Sepatu Converse yang di belinya beberapa bulan lalu.

"Udah dari tadi, Ji?" Tanyaku begitu tiba di sebelahnya.

"Baru aja kok." Matanya menyipit saat menjawab pertanyaanku. Mungkin karena sinar  matahari yang menyorot wajahnya.

Setiap bertemu dengannya, Aku selalu nyaman untuk berpenampilan sesuai mauku. Tak perlu meniru orang lain. Rambut sebahu ku urai. Kaos oversize bewarna putih polos dengan celana jeans selutut. Jangan lupakan jaket denim kesayanganku.

"Gue enggak akan lama kok." Tuturku.

"Kalau nanti lo udah nikah. Udah bahagia sama dia. Jangan lupa kalau gue pernah ada di hidup lo ya? Jangan lupa kalau ada satu orang yang akan tetap jadi rumah lo."

Aku memainkan jariku. Menunduk dan tak berani menatapnya. Suaraku sudah bergetar. Semoga dia tak menyadarinya.

"Maaf,"

Aku malah merasa jahat mendengarnya meminta maaf. Seolah kedatanganku hanya menuntut maaf. Padahal sama sekali Aku tidak pernah menyalahkannya untuk semua hal yang terjadi. Semua sudah jalannya begini, begitulah yang kukatakan pada diriku.

"Enggak papa kok. Ini bukan salah lo. Jadi enggak perlu minta maaf. Makasih ya, Ji. Untuk segala hal baik yang lo beri buat gue. I never forget everything about you." Dengan mata yang sudah berkaca- kaca, keberanikan diri menatapnya sambil berucap demikian.

"Gue jahat ya sama lo?"

"Enggak kok. Kata lo kita harus terbiasa sama perpisahan kan? Mungkin sekarang saatnya gue belajar."

Aku tersenyum getir.

"Gue boleh minta peluk buat yang terakhir nggak?" tanyaku.

Aji tak menjawab, tangannya sudah lebih dulu memeluk erat tubuhku. Aku lantas balas memeluknya. Ku elus punggung rapuh yang beberapa bulan lalu senantiasa bersandar padaku.

"Jangan nangis karena gue lagi ya, Flo." Ucapnya

"Gue nggak janji ya."

"Tunggu gue bentar lagi ya."

Mungkin Aku salah dengar, tidak mungkin dia memintaku untuk menunggu. Untuk apa?

"Saat semua orang meninggalkan lo nanti. Inget gue ada buat lo." Usai mengucap kalimat itu, kulepas peluknya.

"Jaga diri baik-baik ya, Ji." Ku ulurkan tanganku padanya.

Aji tersenyum dan membalas jabat tanganku. Ini akan menjadi kali terakhir diriku bisa melihatnya sedekat ini. Selamat bertemu di titik paling membahagiakan untuk kita berdua.
***
Setelah hari itu, satu bulan yang lalu. Aku tidak lagi mendengar kabarnya. Sebenarnya beberapa kali Aji menghubungiku, tapi kupilih untuk menghindar. Aku belum siap untuk menghadapinya. Tidak ada yang berubah dari sebelumnya. Hanya saja kali ini Aku merasa tidak perlu begitu menangisi segalanya. Rasa sakit yang kurasa sepertu sudah bersahabat dengan diri.

"Pelan-pelan."

Nadir mengusap es krim yang belepotan di ujung bibirku. Pria bertubuh tinggi ini menjadi orang paling rajin mengantarku kesana kesini. Contohnya sekarang, tiba-tiba pulang kerja diriku ingin makan es krim. Dan dia mau saja kuajak.

"Makan yang banyak. Lihat nih tangan lo mirip bambu." Dia melingkarkan jarinya di lenganku.

Aku hanya memanyunkan bibirku, "Gue makan banyak."

"Gimana kuliah lo?"

"Lancar. Mau buruan lulus. Terus nikah." Gurauku.

"Emang ada yang mau?"

Aku mencubit lengan kanan Nadir, "Lo kalau gue ajak nikah juga pasti mau."

Nadir tertawa. Memang benar bukan yang Aku katakan?

"Gue sih mau. Lo aja yang gak mau."

Sial, jawabannya tidak dapat kubantah lagi. Nadir memiliki pribadi yang hangat, suka bercanda, namun tetap bijaksana. Dia tidak pernah memaksaku untuk menerima perasaannya. Tak pernah menuntut untuk di lihat perjuangannya. Dia tidak pergi meski dengan jelas kukatakan dia bukan yang ku nanti.

"Lakuin apa aja yang bikin lo bahagia. Asal lo gak sedih lagi. Gue bakal dukung."

Nadir memang paling handal menghangatkan hatiku. Banyak dorongan darinya yang akhirnya mendorongku untuk keluar dari rasa sakit yang kuciptakan sendiri.

Aku kira rasa sakit hati ini adalah takdir. Ternyata salah, ini bukan takdir. Sakit atau tidak tergantung bagaimana diriku memilihnya. Perpisahan dengan Aji kupilih sebagai sebuah rasa sakit. Hingga akhirnya sakit itu benar terasa.

Tiap kali merasa bahagia, Aku selalu menekankan pada diriku bahwa Aku sedih dan sakit. Ternyata Aku sendiri yang menjebak diriku dalam rasa sakit itu.

"Iya. Gue bakal lakuin apa aja yang bikin gue bahagia kok." Jawabku dengan senyum lebar.

"Nah gitu dong."

Nadir mengusak puncak kepalaku. Padahal dulu hanya Aji yang melakukan hal itu. Baiklah untuk kali ini kuijinkan Nadir melakukannya.
***
Tbc~

Second Story : Hai Aji!! Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang