Ten

8 2 0
                                    

Waktu tidak tepat atau takdir yang tidak sempat.

Second Story : Hai Aji
°°°

Perkenalkan orang ini Nadir Anggara. Teman Abin yang akhirnya menjadi pemeran baru.

***
Pemeran baru kadang munculnya suka tidak tepat. Bisa disaat Aku sendiri belum mengharapkannya. Bisa juga ketika Aku diujung asa. Lihat laki-laki yang sekarang duduk disebelahku ini, Nadir. Nadir teman Abin yang waktu itu. Dia cukup mengagetkanku sebab dia berkata telah lama menyukaiku dengan diam-diam.

"Terimakasih ya, Dir. But, you know i still love him." Tolakku halus.

Jujur Aku kaget ketika mendengar pengakuannya kala itu. Senang rasanya masih ada yang mau mencintaiku yang padahal Aku sendiri merasa udah gak deserve to get that. Tapi hati enggak bisa dibohongi. Aku tetap mencintai Aji.

"Nih makan dulu." Dia menyodorkan kantong plastik bewarna putih. Yang kutebak berisi nasi goreng dekat lampu merah yang menjadi favoritku.

Sebagai informasi sekarang hari kamis pukul delapan malam. Dan secara tiba-tiba Nadir datang. Ini bukan kali pertama. Satu bulan kedekatan kami mungkin ini sudah ke 4 kalinya.

"Makasih, Dir. Jangan gini mulu. Ga enak gue." Ku terima kantong plastik tadi dengan sungkan.

Walaupun Aku suka segala hal yang gratis demi menghemat pengeluaran. Jujur kalau dari orang yang baru kenal itu rasanya aneh dan tidak enak. Beda kalau sama Dewa. Nadir kerap mengirim makanan via gofood. Hal ini yang bikin aku merasa tidak nyaman. Ketika menerimanya, Aku takut dia mengira ada harapan lebih yang kuberi.

"Jangan repot-repot gini. Gue jadi ga enak." Ucapku sehati-hati mungkin agar tak menyinggung hatinya.

"Gue gak ngerasa di repotin kok."

Mau aku sanggah seperti apalagi. Jawaban Nadir akan tetap sama. Nadir baik bahkan dirinya dengan jujur mengatakan perasaannya padaku. Hanya saja tak ada celah. Nadir boleh menaruh hati padaku. Tapi, hatiku sendiri sudah berlabuh pada insan lain.

"Yaudah gue balik dulu ya." Nadir beranjak pergi tanpa menunggu kata iya dariku.

Orang yang kini kulihat bahunya itu, merupakan orang yang ada ketika semua keadaan tak baik atau mungkin sedang baik.

"Nadir, bisa tolong jemput gue? Gue gak dapat taksi."

"Dir, lantai kamar gue mau lepas."

"Nadir, gue mau bubur ayam. Tapi udah malem."

Dia mengganti peran Aji untuk saat ini. Tidak mereka tidak sama. Bila Aji akan diam-diam menunjukkan rasa pedulinya. Nadir akan dengan terang-terangan.Yakinlah jika tidak ada Aji. Bisa saja Aku telah jatuh hati pada orang itu.

Kali ini aku seperti dibawa lagi pada fase yang lalu. Fase dimana tidak aa lagi sosok Aji dalam hariku. Aku? Meski telah mengalaminya, kali ini masih sama rasanya. Tiap malam terbangun hanya untuk memvalidasi rasa rindu. Menangis ketika sendiri.

"kalau aja gue gak jujur ke dia soal perasaan ini. Pasti dia masih disini kan ya, Wa?"

Dewa menengok kearah ku. Lamat-lamat kulihat pria yang lebih muda dariku itu tersenyum.

"Belum tentu juga. Kalau Tuhan mau dia pergi. Ya mau lo jujur atau gak ya bakal dia pergi."

Aku memalingkan pandanganku ke depan sana. Kali ini kami tidak berada di Cafe atau tempat nongkrong yang biasa akan kami kunjungi untuk melepas penat selepas kerja. Ini sebuah rooftop gedung kantor. Ketika pikiran sudah begitu penat disinilah kami. Berteman beberapa kaleng cola.

"Gue dititik bingung. Bingung buat ngeluarin semua kangen gue ke dia."

"Jangan terlalu ditungguin makanya. Let him, Flo."

Rasanya selalu sama tiap kali mendengar orang menyuruhku untuk merelakannya. Mungkin menurut mereka itu cara terbaik agar tak makin larut dalam kehilangan. Tapi semua tak semudah itu.

"Dari dulu sampai saat ini masih sama, Wa." Aku sebisa mungkin menahan tangis yang sepertinya sudah mendesak keluar.

"Gue cuma bisa menaruh rasa ke dia. Tapi enggak pernah berusaha memperjuangkan perasaan gue." Lanjut ku.

"Jahat aja rasanya. Gue gak minta dia harus jadi punya gue. Atau dia harus memperlakukan gue sebaik dulu. Enggak."

"Gue cuma mau bisa ngelihat dia. Entah bersama gue atau orang lain." Serentetan ucap panjang ku terhenti ketika tangisku tak tertahan.

Dewa menepuk pelan punggungku. Mau kutahan lagi juga sudah diluar kendali. Sore ini dengan langit yang menjingga. Aku meluap rindu padamu yang mungkin telah melupa ku.

***
Aku memasuki Kafe milik Abim. Entah alasan apa yang mendorongnya untuk terus menemui ku. Sama seperti sebelumnya, menemui orang ini sama dengan mengoyak luka lama. Mengingatkan kembali bahwa nilai kepercayaan tidak seberharga yang ku kira.

Tempat ini sepi. Tak seperti biasanya. Padahal belum waktu jam tutup. Abim muncul entah darimana. Matanya menyipit saat mengulas senyum diwajahnya. Kemudian kami berdua duduk dimeja terdekat dari pintu masuk.

"Ada apa?"

Seperti biasa langsung pada intinya. Karena Aku tidak mau basa-basi dan menghabiskan banyak waktu dengannya.

"Bunda bilang gue gak becus jagain adek. Gue seenggak berguna itu ya?"

Aku terburu menatapnya. Abim tidak menegakkan kepala seperti biasa. Kepalanya tertunduk.

"Gak ada manusia yang enggak berguna, Bim."

Ini bukan kali pertamaku melihat Abim dikaeadaan seputus asa ini. Dulu? Sering. Dulu dia yang sering seperti ini membuat diriku begitu sayang dan ingin berada disisinya.

"Bunda bilang gue ga berguna."

Ada yang menyanyat ketika melihatnya seperti ini. Aku memberanikan diri menggenggam. tangannya.

"Tiap-tiap manusia lahir dengan manfaat masing-masing. Gak ada yang gak berguna. Tuhan selalu punya tujuan ketika menciptakan segala sesuatu."

Diluar dugaanku. Abim kini menarik tubuhku dan mendekap erat. Aku membeku. Tak ada suara yang muncul diantara kami. Hanya deru nafas. Kali ini kubiarkan dirinya bersandar terlebih dulu. Kulepas pelan dekapannya.

"Bim, belajar buat percaya sama diri lo sendiri. Baik buruknya elo cuma lo sendiri yang bisa menilai. Kedepannya jangan sampai hal seperti ini bikin lo rapuh. Gue gak akan selamanya bisa ada buat lo." Ku pegang kedua bahunya.

Abim menatapku lekat, "Lo gak bisa kasih gue kesempatan?"

"Enggak, bim. We are enough. Cari yang lebih baik dari gue."

Jika dulu Aku ragu dengan jawabanku. Sekarang kuberucap dengan yakin. Dulu memang kamu orang yang paling kuharap. Seiring berjalan waktu Aku sadar bukan itu mauku. Hanya Aku masih terlalu denial berjalan tanpamu.

Cerita manis tentang Abim dan Flo telah menemukan endingnya dengan bahagia. Bahagia yang tidak bersama. Dan pasti kami akan bahagia dengan kisah baru bersama orang lain.

***
Minggu pagi pukul setengah enam pagi. Dengan embun yang masih terlihat dan mentari belum menyapa. Seorang diri Aku berjalan. Niatnya mau jalan pagi. Jadi jalan kaki hanya saja dilengkapi dengan overthinking. Kulihat tanganku yang makin mengurus. Kupikir lagi ada banyak yang berubah dariku. Ku hela nafas panjang. Ternyata selama ini aku terlalu fokus peduli dan mencintai orang lain. Hingga lupa bahwa diriku juga perlu. Hari ini Kuputuskan untuk mengikhlaskan segalanya. Dan mulai mencintai diri sendiri.

***

Haiii, terimakasih buat semua yang masih membaca cerita ini. Bila ada kritik saran bisa disampaikan ya

Second Story : Hai Aji!! Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang