Three

30 9 0
                                    

°°°°

"Biarin aku gini dulu, sebentar."

Aku masih membatu dipeluknya, telingaku bisa dengan jelas mendengar yang barusan dia katakan. Tanganku diam tidak membalas peluk tak pula menepis.

"Bim, saya harus pulang sebelum hujannya makin lebat."

Dia tak menyahut, malah peluk yang makin erat. Sudahlah, aku mengangkat tanganku dan balik melepas... Eh bukan ini aku malah meluk loh. Padahal tadi niatnya mau ngedorong, apa ini yang orang sering bilang saat hati dan otak tak sejalan?

Okay, gak papalah. Peluk sekali gak bikin  aku gamonkan? Udah pikir nanti lagi.

***

Jangan berharap banyak kalau sore itu setelah adegan berpelukan yang cukup lama akan ada kisah manis dibaliknya, bukan Abim kalau begitu namanya, dia hanya mengecup lembut keningku, lalu pergi begitu saja. Lantas aku masih terpelongoh dengan segalanya, tidak ada yang dia katakan baik secara langsung maupun via chat.

Padahal ini sudah seminggu dari kejadian sore itu. Kalian pasti mau ngatain aku ngarep kan? Iya, serius iya. Aku berharap setelah kejadian itu kami dapat memulai hal baru. Tapi, itu hanya harapan sesaat yang muncul . Karena selanjutnya luka itu menyadarkanku bahwa dia tidak layak untukku.

Ah....

Realitanya itu hanya sebatas ekspektasi, beginilah manusia kebanyakan makan ekspektasi. Lalu dipatahin sama ekspektasi sendiri, entar nyalahinnya ke orang lain. Dasar aku!!!

Sekarang, aku lagi sama mas Jean, kita lagi makan di warteg mbak Sum, langganan anak kantor kita, klien hari ini sepertinya bikin mas Jean capek. Terbukti dia yang biasa makan sehari sekali sampai badannya macam lidi, menjulang tinggi. Sekarang secara ajaib ngajakin aku makan padahal tadi pagi kulihat dia sarapan seporsi bubur ayam pak Abu.

"Mas Jean jawab Flo! Mas Jean abis keselek apa? Tiba-tiba ngajakin gua makan jam segini?" aku menahan tangannya yang hendak menyuap sesendok nasi kemulutnya.

"Kaya gak tau gua aja, Flo. Biasa papa abis marah-marah semalem, capek dengernya."

Dia mendengus kesal lalu meletakkan lagi sendok yang tadi hendak disuap.

"Papa nyuruh gua jalan sama anak temennya. Tapi, cewek itu gak masuk banget dikriteria gua Flo. Ya gua tolak. Papa enggak terima karna gua tolak, padahal maksud gua baik, daripada entar udah jalan, cewek itu ngarep ke gua, makin gak enak. Mending baru awal gua tolak aja."

Mas Jean kalau udah begini bener-bener kelihat frustasinya, padahal dia dikenal sebagai lawyer yang punya vibes semangat dan optimis. Tapi namanya manusia, mereka punya second side dalam dirinya, bahkan mungkin kamu yang lagi baca ini juga punya second side kan?

Aku tidak mau menyebut dengan istilah yang rumit, biasa ku sebut second side alias sisi kedua, kalian pernah gak sih merasa kalau sikap kalian sering berubah? Kadang kalian menjadi orang sabar, tiba-tiba jadi penuh amarah. Nah! Dua sikap yang berlawanan dalam diri kalian itu bisa disebut sebagai second side.

Mas Jean yang kulihat ini bisa jadi adalah sosok asli darinya, hanya saja aku enggak pernah tahu sisi dia yang ini.

"Betul sih langkah mas Jean, tapi aku pikir lu perlu buat buka diri mas, ya kali mau jomblo terus?"

Mas Jean tidak merespon ucapanku barusan, dia hanya tersenyum lalu lanjut melahap nasinya. Dan setelah itu kami berdua fokus pada makanan masing-masing.

•••

Singkat hari itu berjalan, Dewa lepas kerja tadi ngotot banget ngajak aku ke Calmer Cafe yang alias cafenya si Abim.
Jujur nih aku sebenarnya enggan untuk kesini. Tapi, Aku tidak bisa menolak kesempatan untuk minum gratis dari dewa. Hitung-hitung menghemat pengeluaran.

Second Story : Hai Aji!! Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang