BAB 01

5.2K 322 12
                                    


[ HARI YANG BURUK ]

~~Sebelum hadirnya cahaya mentari akan selalu ada gelapnya malam kemarin~~

*

*

*

“Pagi Raka...”

Wanita berkemeja hijau pastel dengan vest blazer yang longgar itu menyapa rekan pria yang baru saja datang dan menarik kursi kerjanya.

“Pagi kak,” balasnya dengan ramah.

“Lo telat lagi?” tegur rekan wanita dengan ID card bertuliskan Sintia menggantung di lehernya.

“Iya. Padahal gue udah kejar waktu buru-buru, masih aja telat,” keluh pria berusia 23 tahun tersebut seraya meletakkan pantat pada kursi kerjanya.

“Raka, Lo di panggil Pak Dani tuh,” panggil seseorang dari samping mejanya.

Pria yang baru saja meletakkan pantat di kursinya serta menjulurkan tangan untuk menyalakan komputer itu segera menahan diri.

“Kenapa?” tanyanya.

Rekan yang memanggil itu hanya menggelengkan kepala. Tapi sebenarnya dia sudah bisa menebak dalam rangka apa pegawai sepertinya dipanggil oleh atasan.

“Buruan kesana sebelum Lo di lahap abis-abisan,” bisiknya sambil menepuk bahu Raka memberinya semangat.

“Oke, makasih,” kata Raka pada rekan yang bergegas meninggalkannya.

Baru juga duduk, udah mulai lagi. Mau apa lagi sekarang?!

Panggilan dari atasannya itu membuat dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menghela nafas dengan kasar. Pasalnya perlu diketahui bahwa atasannya itu sangat-sangat membenci dirinya.

“Raka, semangat ya!” pesan Sintia menyemangatinya.

Raka hanya menanggapi perempuan itu dengan senyum singkat dan anggukan lelah. Namun dia segera beranjak mendatangi meja pria tua yang menjabat sebagai kepala manajer timnya.

“Selamat pagi pak. Ada perlu apa bapak mencari saya?” Dia bertanya dengan sopan.
Raka menghadap atasannya dengan kedua tangan di satukan di depan perut bawahnya, kedua kaki yang berdiri tegak dan wajah tenang yang tampak siap menerima apapun yang dibebankan padanya.

Bukannya mendapat tanggapan ramah, pria tua itu malah menelisik seluruh penampilannya dari atas ke bawah dengan ekspresi merendahkan.

“Kamu terlambat lagi, kan?" tanyanya dengan wajah angkuh dan nada mengancam.

“Iya pak, saya minta maaf soal itu.”

Berbeda dengan penampilannya yang tenang, sebenarnya di dalam hati Raka terdapat api merah yang menyala-nyala, membakar hati dan jiwa dalam tubuhnya.

Dia benar-benar berusaha keras untuk menahan diri dan menenangkan jiwanya. Karena dia tahu, pertanyaan barusan hanya basa-basi belaka untuk membuat dia menerima apapun perintahnya tanpa bisa menolak atau membantahnya. Dan isi pikirannya diperjelas ketika senyum licik pria tua yang duduk dengan kaki menyilang tersirat di wajahnya.

[BL] ANASTAÍNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang