BAB 19

2.1K 173 52
                                    

[ HIDDEN HAPPINESS ]

~~ Saat kenyataan yang harus dihadapi merenggut kebahagiaan
Haruskah hidup tetap berjalan di atas penderitaan? ~~

*

*

*

“Gue lihat-lihat Lo deket sama Alden.”

Ucapan yang terdengar menginterogasi barusan berasal dari Lorenzo yang sedang makan di kantin perusahaan bersama beberapa orang.

Beberapa saat yang lalu saat Raka sedang makan siang bersama rekan-rekannya, tiba-tiba Lorenzo menyapa mereka dan meminta ikut bergabung. Tidak ada satu pun yang bisa menolak entah kenapa.

“Lumayan, kenapa emang?” tanya Raka.

“Nggak apa-apa, gue cuman penasaran kenapa tiap kali gue ke sini kalian nggak pernah kelihatan bareng.”

Gue yang harusnya tanya kenapa Lo keseringan datang ke sini padahal kerja juga nggak?

Raka hanya bisa membatin meskipun agak jengkel dan ingin membalasnya karena ucapannya.

“Justru itu yang bener, kan?” celetuk Bino.

“Walaupun di luar kantor emang temenan, ya di kantor beda urusan. Memisahkan urusan pribadi sama kerjaan artinya temen gue sama pak direktur itu profesional dong,” lanjutnya menyuarakan pendapatnya mewakili isi pikiran Raka dan mungkin rekan-rekannya yang juga setuju dengannya.

“Gue ngerti kok, cuman mau tahu aja alasannya,” ucap Lorenzo sambil tersenyum dan mengangguk mengerti dengan wajah polos.

“Lo sendiri ke sini ngapain? Hampir tiap hari, udah kayak karyawan sini aja.”

“Gue ke sini emang cuman buat nemuin Alden, eh! Maksud gue direktur.” Lorenzo melirik Raka yang acuh dan tetap bermain game di ponselnya.

“Sekalian nemenin dia kerja, biar nggak bosan.”

“Emang Lo nggak ada yang dikerjain selain nemenin pak Alden?” tanya Sintia dengan wajah kecut.

“Dengan kondisi gue yang sekarang, masih nggak mungkin buat kerja. Gue juga nggak tahu sampai kapan kayak gini,” jawab Lorenzo dengan mimik sedih.

Raka melirik ke arah Lorenzo karena risih mendengar nada bicaranya yang terkesan dilebih-lebihkan. Biasanya dia bukan orang yanh terlalu peka dengan situasi seseorang, tapi entah kenapa dia merasa Lorenzo seperti sengaja melakukan sesuatu atau memang sifatnya seperti itu.

“Gue duluan, mau sambung ngerjain laporan.” Raka menyeletuk sambil mengangkat nampan makanannya.

Dia merasa tidak nyaman berbicara lebih banyak lagi dengan Lorenzo yang mana berbicara dengan Valdi masih lebih baik.

Beda banget kakak adek. Batin Raka.

“Tuh orang kenapa sih?” celetuk Bino setengah berbisik ketika mereka mampir ke pantry.

“Aneh banget, anjir. Masa tiba-tiba sok deket sama kita. Kenal aja nggak,” omel Bino.

“Jangan tanya gue!” jawab Raka ketus.

“Gila aneh banget! Bikin risih di sini. Lagian kenapa sih pak Alden nggak ngusir dia? Gue  ngerasa terganggu banget lihat dia.”

“Nggak tahu deh. Lo jangan ngomel sama gue, gue nggak ngurusin!” jawab Raka sambil meninggalkan pantry dengan sebotol sari buah mangga di tangannya.

[BL] ANASTAÍNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang