BAB 06

1.9K 174 14
                                    


[ ANOTHER DINNER ]

~~Melebihi berpisah, berada di dekat seseorang tanpa bisa berbuat apa-apa berkali lipat lebih menyiksa~~

*

*

*

“Gue cariin, ternyata nggak ikut makan siang lagi.” Sintia menyindir.

“Lagi males gue,” jawab Raka seraya menghempaskan pantatnya ke kursi.

“Kumat lagi kebiasaan! Lo tuh boleh males makan, tapi perut Lo butuh diisi, anjir! Sakit lagi, tau rasa lo!” omel Sintia sambil memukul ringan pundaknya.

“Iya mak, iya...” tanggapnya setengah hati.

“Aduh! Sakit woi!” keluh Raka sedikit berteriak.

Tangan perempuan yang sudah seperti kakak perempuan bagi Raka itu baru saja mendarat ringan di punggungnya sambil matanya melotot kesal padanya.

“Makannya makan sana Lo, di geplak dikit aja udah sakit!” omel Sintia.

“Emang dasarnya tangan Lo aja kak yang sakit! Nggak ada hubungannya sama gue nggak makan!” protesnya berteriak dengan wajah cemberut.

“Ngomong lagi, coba! Protes lagi!”

Raka hanya bisa berdecak sementara rekan-rekan lainnya menggelengkan kepala dengan kelakuan mereka berdua.

Sementara itu di ruang direktur, Alden yang baru saja menyelesaikan makan siangnya mulai berkutat kembali dengan tumpukan dokumen-dokumen yang harus ia selesaikan hari ini di atas meja. Tetapi pandangannya menangkap salah satu file hitam yang digunakan dalam rapat beberapa hari yang lalu, yang terselip di bawah banyaknya dokumen. Kemudian tangannya menarik salah satu laci di bawah meja. Tiga lembar kertas tergulung kusut layaknya bola salju yang siap digelindingkan itu seharusnya berada di dalam file cetak, namun ulah tangannya membuat beberapa lembar itu menjadi sampah dengan mudah. Dengan seringai tipis di bibir Alden mendorong kembali laci tersebut.

Alden sengaja meminta Raka menyimpan seluruh riset yang dia kerjakan, baik yang masih dalam bentuk kotor sampai yang telah dicetak sebagai laporan final. Dan sekitar dua hari yang lalu ketika kepala manajer menyerahkan laporan untuk di tandatangani, dia sengaja menghilangkan tiga lembar dari file aslinya dan meminta rapat dadakan untuk melihat kemajuan tim dalam proyek baru miliknya.

Alden merasa sangat puas, meskipun tahu apa yang dia lakukan tidak akan memberi banyak pengaruh kepala manajer yang bertindak seenaknya. Tapi setidaknya orang tua itu akan lebih berhati-hati sebelum bertindak dan melakukan sesuatu, atau dia akan kehilangan citra dirinya dan mungkin pekerjaannya.

Telepon yang senyap tiba-tiba berdering sebelum Alden sempat mengangkat pena. Laki-laki itu segera memeriksa nama sang penelepon lalu terdiam sejenak sebelum akhirnya beranjak dari kursi dan menerima panggilan tersebut.

“Halo?” sahutnya dingin.

Saat mendengar suara dari penelepon, ekspresi Alden berubah kaku dan matanya memandang kosong ke arah langit sembari terus mendengarkan sang penelepon.

“Ren sadar Al. Akhirnya dia bangun.”

Keheningan sesaat menjadi respons bisu pendengar, sebelum dia akhirnya bertanya.

[BL] ANASTAÍNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang