"Dimana pun dia berada, aku ada."
Hujan deras mengguyur kota Depok pagi ini. Tidak ada yang mengisi jalur jalan kecuali beberapa motor dan mobil. Langit berubah menjadi abu-abu hitam. Semua orang berteduh, menghindari ribuan hujan yang siap membasahi pakaian mereka. Tidak, tidak semua orang. Seorang lelaki berumur 20 tahun membiarkan jaket hitamnya basah, bahkan semua pakaiannya basah.
Sudah hampir satu jam ia berdiri di pinggir jalan, lebih tepatnya ia berdiri di samping kursi kosong bercorat-coret spidol hitam. Ia berdiri sembari menutup wajahnya dengan masker. Di depannya, berdiri sebuah rumah berlantai dua, bernuansakan hitam-putih, rumah itu menggambarkan bahwa pemilik memiliki jiwa fotografi. Dengan dua patung kucing yang mempercantik halaman rumah.
Mata pemuda itu memandang seorang perempuan yang tengah duduk di teras kamarnya di lantai dua. Ditemani hujan, telinganya terpasang earphone yang mengalirkan lagu-lagu Taylor Swift. Kata-kata yang termaktub di novel karya Eka Kurniawan mampu membuat matanya tidak berkedip. Meskipun perempuan itu memakai sweater abu-abu dan celana jogger berwarna hitam, mata pemuda itu seakan masih sanggup melihat lekukan tubuhnya yang menawan.
Perempuan itu pergi masuk kamar ketika ibunya memanggil namanya. Bersamaan dengan itu, lelaki itu angkat kaki dari posisinya.
60 hari semenjak lelaki itu melihat si perempuan, ia tidak pernah absen melihat si perempuan. Bahkan ia mengingat semua momen yang tercipta antara dirinya dan si perempuan. Dua bulan yang lalu, atau tepatnya hari Senin, hari dimana Tuhan mengizinkan lelaki itu bertemu dengan bidadarinya. Tepat di sebuah warung kopi, lelaki itu dengan lahap memakan mie rebus yang ditaburi cabe, hingga sendoknya menggantung di udara karena melihat seorang perempuan masuk memesan es teh.
Bau harum perempuan itu menyerbak dan dengan sempurna hidung lelaki itu menghirupnya, meletakkannya dalam pikiran. Menyadari perempuan itu melihatnya, si lelaki dengan cepat melempar pandangannya ke arah lain. Wajah merahnya hampir terlihat. Detik demi detik, suara perempuan itu hilang.
"Eh, gembel. Jangan lupa cuci piring," seru Ibu pemilik warung kopi dengan nada memerintah.
"Lah? lo ngutang lagi?" timpal ojek pangkalan seakan terkejut. Meski ia sudah mendengar hal itu berkali-kali.
Begitulah mereka menyebutnya. Si Gembel. Tidak lain sebutan itu karena penampilannya yang tidak karuan. Rambut yang sudah memanjang hingga bahu, penuh debu dan kutu. Kulit kusamnya bahkan tidak mampu dibersihkan oleh sabun manapun, terlebih lagi tubuhnya yang kurus kering membuat orang-orang merasa iba. Si Gembel tidak mengidahkan perkataan itu. Ia melanjutkan makannya dan mencuci piring bekas orang-orang, ganti dari bayar mie rebus itu.
Warga sekitar bahkan berdoa pada Tuhan agar dirinya cepat mati. Mereka merasa itu adalah cara terbaik untuk membebaskan si Gembel dari kesengsaraan. Telinga si Gembel merekam harapan-harapan itu dengan jelas, bahkan pernah suatu hari, ada seorang kakek tua renta memberikannya sebuah plastik hitam berisikan kain kafan. Seraya terbatuk-batuk, kakek tua itu berkata, "Kamu lebih membutuhkan ini daripada saya."
Api kemarahan selalu membara setiapkali si Gembel mendengar ucapan-ucapan itu. Namun ia sadar bahwa apa yang mereka ucapkan adalah kebenaran dan si Gembel menyetujuinya. Si Gembel pun merasa Tuhan menciptakannya hanya untuk bahan hinaan mahluk lain, iya, mahluk lain. Karena kucing pun tertawa saat melihat dirinya, mungkin kucing itu merasa dirinya lebih beruntung dari pada si Gembel. Begitu pula anjing yang berkata, "Meskipun aku najis, setidaknya aku disayang."
Bukan hanya sekedar harapan masyarakat yang Gembel terima, ia bahkan secara terbuka menerima usulan masyarakat tentang cara bunuh diri. Dan percayalah, si Gembel sudah mencoba bunuh diri ratusan kali. Ia pernah mencoba memotong nadi tangannya dengan silet, namun usahanya gagal ketika kucing berak di lukanya dan menghentikan pendarahannya, atau saat ia loncat dari lantai 5 sebuah gedung tua, dan kembali ia menemukan jalan buntu karena ia malah meniban seekor anjing dan membunuhnya karena tulang pantatnya meremukkan kepala anjing itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penulis Toilet
Short StoryBuku Penulis Toilet adalah kumpulan cerita pendek yang menjadi wadah penulis untuk menuangkan imajinasi liarnya. Dengan seguhan cerita-cerita yang menarik dan nyentrik, penulis berharap para pembaca mampu menikmati setiap cerita yang termaktub di da...