Cinta adalah Luka

2 0 0
                                    

Seekor cicak yang tengah menempel di sudut ruangan menghampiri seekor laba-laba yang tengah bersanti di jaringnya. Kali ini si Cicak tidak ingin menyantap anak-anak laba-laba itu. Ia sudah kapok saat dirinya masuk perangkap laba-laba itu.

"Hei, Spiderman!" si Cicak memanggil si Laba-laba dengan nama panggilan baru yang terdengar asing di telinga si Laba-laba. Si Laba-laba itu menengok dan bertanya, "Sejak kapan kamu memanggilku dengan panggilan itu?" pertanyaan itu dilontarkan dengan nada panas.

"Semenjak aku menonton sebuah gambar yang bergerak di layar lebar di ruang tengah," lapor si Cicak.

"Memang apa arti nama itu?" si Laba-laba kembali bertanya meski sekarang dengan nada yang sedikit damai.

"Tenanglah. Di gambar itu kamu menempel di dada seorang manusia dan menjadi pahlawan bagi rakyat jelata. Mungkin kamu bisa mencobanya."

"Menjadi pahlawan bagi rakyat jelata?"

"Tidak, menjadi pahlawan bagi dirimu sendiri dulu," canda si Cicak.

"Sialan kau!"

"Aku sedang tidak ingin cari masalah denganmu. Aku hanya ingin bertanya,"

"Tentang?"

"Apa yang sedang manusia itu lakukan?" si Cicak menunjuk ke arah remaja lelaki yang tengah sibuk di meja belajarnya dengan buntutnya.

"Entahlah, sudah hampir satu jam ia duduk di sana. Pertama-tama ia akan merobek satu kertas dari bukunya, mencorat-coret sesuatu sebelum meremukkan kertas itu dan melemparnya ke sembarang arah. Lalu merobek kembali kertas yang lain dan mencorat-coret sesuatu sebelum kembali meremukkan kertas itu dan seterusnya sampai sekarang. Mungki ia akan berhenti ketika hendak buang tai."

"Aku pikir ia sedang jatuh cinta," jawab si Cicak tiba-tiba yang membuat si Spider tertawa. Merasa tidak sedang melawak, si Cicak bertanya, "Kenapa kamu tertawa?"

"Kamu yakin ia sedang jatuh cinta?"

Si Cicak menggoyangkan buntutnya sebagai jawaban bahwa ia yakin dengan pikirannya.

"Siapa perempuan yang ingin dengannya? Bahkan wajahku saja lebih tampan daripada wajahnya," sombong si Spider.

Si Cicak memutarkan badannya dan pergi seraya berkata pelan, "Setidaknya wajahnya tidak seseram wajahmu."

"Hei! Cicak! Kau mau ke mana?"

"Buang tai!"

Di bawah lampu 15 watt yang hampir wafat, seorang remaja lelaki berusia 16 tahun yang kerap dipanggil si Borok tengah sibuk menyusun kata-kata indah. Untuk sesaat dirinya merasa seperti Chairil Anwar, Rumi, Joko Pinurbo dan penyair-penyair terkenal lainnya. Dengan memejamkan mata membayangkan kekasih pujaannya, si Borok mulai menggoreskan penanya di baris pertama. Belum lima kata tertulis, si Borok kesal sendiri. Ia meremukkan kertas itu dan membuangnya.

"Nyatanya tidak hanya wajahku yang borokan, sepertinya otakku pun sama," umpatnya kesal.

Ia menepak-nepak kepalanya sendiri, dengan maksud agar otaknya bekerja dengan benar. Tidak hanya bekerja, tapi harus bekerja dengan benar. "Ayolah, otak! Aku butuh kau saat ini," ucap si Borok pada otaknya.

Melihat remaja itu menepak kepalanya sendiri, si Cicak mulai memahami sesuatu. "Semua manusia memang diberi akal, tapi tidak semua manusia mempergunakan akalnya," ucap si Cicak sendirian sembari menikmati laron-laron yang ia tangkap kemarin.

Seperti dugaan si Cicak. Si Borok memang tengah jatuh cinta pada seorang perempuan bernama Hani, siswi pindahan dari Jogja yang sudah memikat hati para siswa karena kepintaran, kebaikan dan kecantikannya. Salah satu dari siswa itu adalah si Borok.

Penulis ToiletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang