Penulis Toilet

3 0 0
                                    

"Bahlul!" teriak seorang perempuan berusia 30 tahunan yang mengenakan kemeja merah yang ditutup dengan jas hitam serta rok hitam yang bahkan tidak sampai ke lututnya, menjadikan paha putih dan mulusnya tontonan gratis para lelaki mata keranjang. Bukannya merasa risih dengan pandangan liar seperti itu, perempuan yang bernama Hindun ini malah senang karena menjadi primadona, terlebih lagi ia harus mencari kekasih setelah satu minggu lalu ia harus putus dengan kekasihnya karena perbedaan keyakinan; Hindun percaya bahwa bumi itu bulat, sedangkan mantan kekasihnya percaya bahwa bumi itu datar.

Merasa tidak cocok, Hindun lebih memilih putus meskipun ia telah memberikan semua tubuhnya kecuali keperawanannya pada mantan kekasihnya itu. Biarlah sentuhan lembut malam itu menjadi kenangan indah, pikir Hindun.

Matanya telah menyapu semua ruangan guna mencari seorang pemuda berusia 25 tahun bernama Bahlul. Bahkan teriakan Hindun telah mengisi gedung ini, gedung salah satu penerbit buku. Dan seakan terhipnotis, tidak ada satupun karyawan atau pengunjung laki-laki yang menyuruhkan diam, mereka seakan menikmati teriakan Hindun sembari menutup mata, menciptakan drama dalam benaknya.

Hindun menghentikan pandangannya saat ia melihat seorang lelaki tua berusia 50 tahunan tengah memandangnya penuh nafsu. Hindun kenal lelaki itu, ia adalah salah satu direktur penerbit yang pernah mengajaknya makan malam di salah satu restoran ternama di Jakarta Pusat. Hindun membalasnya dengan tatapan lebih menggoda dan seakan ada sengatan listrik, lelaki tua merasa celananya menjadi sempit. Hindun sadar apa yang terjadi dengan lelaki tua itu. Ia tersenyum puas, senang karena daya tariknya sebagai perempuan masih kuat, meskipun yang bangun adalah burung lelaki tua yang bahkan ia yakin istrinya lebih memilih bunuh diri daripada bercinta dengannya.

Mendapat ilham dari burung lelaki tua, Hindun ingat ada satu tempat yang belum ia lihat; toilet.

Seakan sudah terbiasa, Hindun masuk toilet laki-laki tanpa permisi, membuat para lelaki yang tengah kencing berdiri membasahi celananya sendiri terkena cipratan airnya sendiri. Hindun menggedor-gedor setiap pintu kamar mandi sembari meneriakkan nama Bahlul.

Dan didapatilah Bahlul di kamar mandi terakhir, sedang duduk memangku laptopnya tanpa membuang hajat. Hindun melototinya tajam.

"Ngapain kamu di sini?!" bentak Hindun meski dengan mata yang berkeliaran ke tubuh Bahlul.

"Menulis artikel terbaruku," jawab Bahlul.

"Tanpa berak dan kencing?"

Bahlul mengangguk.

"Kenapa?" tanya Hindun dengan nada memaksa.

"Karena aku memang tidak ingin kencing atau berak."

Hindun menghela napas mendengar alasan Bahlul. Ia menariknya keluar dari kamar mandi, menjadikan Bahlul sebagai korban dari pandangan iri para lelaki di sana. Hindun menggandeng tangan Bahlul dan menuntunnya untuk duduk di kursi kecil berwarna merah. Bahlul menurutinya. Hindun ikut duduk di depannya, menyilangkan kakinya dan menutupi pahanya dengan bantal kecil. Entah kenapa ia sedang tidak ingin memamerkan pahanya.

"Kan sudah aku bilang, jangan menulis di toilet lagi," ucap Hindun geram. Ujung alisnya hampir menyatu jika saja ia tidak sadar bahwa mengukir alisnya butuh perjuangan berat. Lagipula ia juga tidak ingin terlihat galak di mata para lelaki.

"Dan aku juga sudah bilang padamu, aku tidak bisa menulis selain di toilet," balas Bahlul dengan nada lemas, seakan meminta mohon agar Hindun mengizinkannya menulis di sana.

"Cobalah untuk menulis di tempat lain," pinta Hindun, "Kamu bisa menulis di ranjang apartemenku jika kamu mau," lanjut Hindun, menggoda. Hindun sendiri sampai saat ini masih bertengkar dengan rasa heran, kenapa Bahlul seakan tidak ingin berpacaran atau bahkan hanya bercinta dengannya. Baginya, Bahlul seperti tembok Cina yang sulit di tanjak.

Penulis ToiletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang