Sisi Gelap Si Manis

1 0 0
                                    

Sembari menunggu temannya datang, remaja putri berumur 17 tahun yang biasa dipanggil Manis mendengarkan playlist lagunya di Spotify. Hampir semua lagunya adalah karya Tulus. Jika harus dipilih, ia akan memilih Adu Rayu sebagai lagu favoritnya. Dengan telinga yang mendengarkan lagu, matanya tidak henti membaca novel baru yang ia beli kemarin, The Fault in Our Stars hasil karya John Green. Meskipun Manis sudah membaca ratusan novel romantis, ia adalah remaja putri yang tidak terlalu mementingkan perkara cinta.

Dengan rambut hitam pendek, alis mata yang halus dan bulu mata lentik serta hidung mancung dan juga badan yang proposional layaknya Barbara Palvin, bukan hal sulit bagi Manis untuk mendapatkan kekasih. Lagipula, pria mana yang tidak ingin menjalin kasih dengan siswi tercantik di SMAN 13 Depok itu.

Setelah hampir sepuluh menit menunggu di Starbucks Coffee di Margo City, Hanifa, teman yang ditunggu Manis datang dengan wajah ceria dan takut. "Hiiii!!!! Sorry... sorry," ucap Hanifa lembut. Tanpa dipersilakan, Hanifa menarik kursi dari meja sebelah dan meletakkannya di depan Manis lalu duduk.

"Lo telat sepuluh menit," kata Manis sedikit kesal.

"Ya Allah, nih orang ketimbang sepuluh menit doang. Lo sendiri tahu macetnya Depok kaya gimana. Bawaannya pengen terbang aja," balas Hanifa.

"Ya tetep aja kalo telat itu namanya nggak meng---"

"Ssstttt!" potong Hanifa, "lo udah denger tentang bokapnya Alpha?" Hanifa memasang wajah serius lalu melanjutkan perkataanya dengan suara yang dipelankan, "bokapnya dibunuh. Mana serem banget lagi matinya."

"I don't care about it," balas Manis cuek lalu bangkit dari kursinya dan berjalan pergi. Hanifa hanya terpangu melihat temannya pergi begitu saja. Ia menghela nafas sebelum mengekor dari belakang. Suasana Margo City cukup ramai sore hari ini. Manis dan Hanifa sepakat untuk bertemu guna membahas rencana mereka mengambil beasiswa di Jerman. Sembari berjalan di samping Manis dan meminum Caramel Macchiato, Hanifa berkata, "Persiapan lo untuk ke Jerman udah berapa persen?"

"95%," jawab Manis tanpa menoleh ke arah Hanifa.

"Gila! Gue aja baru 65%."

"Das liegt daran, dass du es nicht ernst meinst," Manis membalas dengan bahasa Jerman.

"Du bist zu ernst," balas Hanifa seraya tertaw.a

Tempat pertama yang wajib Manis datangi saat berkunjung ke pusat pembelanjaan adalah toko buku. Ia tidak bisa melewatkan tempat itu. Dengan kejelian dan ketenangan, Manis mencari buku populer yang membahas tentang Jerman sekaligus beberapa novel Aroma Karsa hasil tangan ajaib penulis favoritnya, Dee Lestari. Baginya, tulisan-tulisan Dee adalah mahakarya yang patut dibaca. Kepekaan Dee memilah-milih kata mampu menghipnotis Manis dan mendorongnya masuk dunia Sastra.

Berbeda dengan Manis, Hanifa sibuk mencari komik One Piece episode terbaru. Meskipun dia tahu bahwa dia bisa membacanya di situs-situs anime online, namun ia tidak merasakan kepuasan di sana. Ia lebih baik membeli versi cetaknya ketimbang membiarkan matnaya menatap layar ponsel atau labtop tanpa henti. Setelah mendapatkan komik yang ia mau, Hanifa mendatangi Manis. "Udah ketemu belum?" tanya Hanifa dengan nada pelan.

Manis mengangkat tangannya dan menempelkan novel Aroma Karsa di ujung hidung Hanifa. Secara otomatis Hanifa mundur beberapa langkah guna membaca judul novel itu. "A-R-O-MA K-A-R-S-A," ejanya. "Kamu tuh memang pengikut garis kerasnya mba Dee, ya?"

Manis mengangguk lalu kembali menelusuri rak-rak toko buku. Hanifa mengikutinya dengan raut pasrah. "Kamu nggak mau ke Gramedia Depok aja? Kan lagi ada peluncuran novel baru. Katanya diangkat dari kisah nyata, lho. Sebentar... kalo nggak salah, judulnya... Aha! I'm a Writer!" seru Hanifa.

Penulis ToiletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang