Ibrahim, Ismail dan Domba

1 0 0
                                    

Tatkala suara lantunan suci Al-Quran terdengar di telinga, ibu-ibu kampung Anggrek berdandan merias diri. Mereka hendak mengisi pengajian di masjid al-hidayah, masjid utama kampung Anggrek. Bedak putih menghias wajah mereka, gaun panjang dengan berbagai macam motif dipakai meski yang terpenting bagi mereka adalah warna yang selaras. Hari ini adalah jadwal mereka menggunakan gaun berwarna putih. Beberapa dari mereka ada yang langsung menuju masjid dan beberapa yang lainnya mampir ke rumah yang lain agar bisa pergi berbarengan.

Langit masih cukup terang meski sudah memasuki ashar. Raut wajah ceria terlukis jelas. Sembari berjalan menuju masjid, mereka berbincang banyak hal, mulai dari arisan bulan ini yang belum terkumpul karena salah satu dari mereka beralasan punya kebutuhan mendadak di saat pandemic seperti ini hingga artis-artis yang masuk lambe turah karena selingkuh atau bercerai.

Mulut-mulut itu tidak berhenti membicarakan hal-hal tidak penting sampai kaki mereka memasuki area masjid.

"Sssttt, sudah-sudah. Nanti kita lanjutkan lagi obrolannya. Nggak baik ngeghibah di rumah Tuhan," bisik bu Maya, istri pak Azam, lurah baru kampung Anggrek.

Yang lain mengangguk mengikuti.

Masjid al-hidayah memiliki pekarangan yang cukup luas. Di sudut kiri gerbang masjid terdapat arena bermain seperti perosotan, ayunan dan lainnya guna membiarkan anak-anak menghabiskan waktu bermain sembari menunggu ibu-ibu mereka mendengarkan kajian dari narasumber atau melakukan tadarusan. Di sudut kanan gerbang masjid dibentuk taman buatan yang diperindah dengan air mancur yang menjulang tinggi serta kolam kecil berisi ikan-ikan hias.

Warna cat putih kebiruan menambah keindahan masjid tersebut, seakan memberikan ketenangan bagi siapapun yang melihatnya.

Keindahan masjid ini tidak bisa lepas dari jasa pak lurah yang bersedia menggelontorkan uang banyak demi merenovasi masjid ini. Pengorbanannya itu pun tidak sia-sia dengan terpilihnya ia sebagai pak lurah yang baru. Ya, dalam kampanyenya, pak lurah memang berjanji akan merenovasi rumah-rumah Tuhan guna memberikan kenyamanan serta ketertarikan tersendiri bagi warga kampung Anggrek.

Satu minggu sebelum pemilihan lurah, pak Azam memikirkan berbagai macam cara agar warga memilihnya. Siang dan malam dihabiskan melakukan cara-cara yang tidak memberikan hasil apa-apa. Hingga salah satu anggota tim suksesnya memberikan usulan.

"Bagaimana kalo kita merenovasi masjid, Pak?"

"Kamu yakin?"

Anggota itu mengangguk lalu berkata, "Tidak ada yang mampu menarik perhatian mereka kecuali Tuhan. Itu artinya kita perlu bantuan Tuhan."

"Dengan cara memperbaiki rumah Tuhan?"

"Benar, Pak. Saya yakin mereka akan memilih bapak karena Tuhan berada di pihak bapak."

Didasari ide itu, pak Azam memberanikan diri mengocek tabungannya guna merenovasi masjid al-hidayah. Seakan mendapatkan kunci surga, pak Azam senang bukan main saat mengetahu warga kampung Anggrek antusias dengan renovasi tersebut dan menganggapnya sebagai manusia yang taat beragama.

"Sepertinya dia pemimpin yang bijak," ucap salah satu warga saat melihat beberapa truk datang membawa bahan-bahan bangunan.

"Saya akan memilihnya. Kita butuh pemimpin seperti dia. Pemimpin yang menghargai rumah ibadah," sahut yang lain.

Satu bulan setelah keputusan resmi bahwa pak Azam memenangkan lurah, ia kerapkali mendatangi masjid al-hidayah guna memeriksa perkembangan masjid. Tak hanya itu, ia pun seringkali duduk bersama warga sekitar sembari mendengarkan keluhan-keluhan mereka ditemani dengan beberapa gelas kopi dan cemilan.

Berjalan tiga bulan, warga tidak lagi melihat pak Azam. Beberapa warga mulai bertanya-tanya perihal perubahan itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjerumus ketidakpercayaan. Di ruang berAC, pak Azam menangkap kecurigaan itu. Kegelisahan pun menjalar di akal dan hatinya. Ia tidak boleh kehilangan kepercayaan warga. Maka dari itu, ia menyuruh para bawahannya untuk membagikan sembako ke setiap warga.

Penulis ToiletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang