Huit

664 91 23
                                    

Budayakan Vote & Comment

Sorry for typo

©Park_213

[081021]

Present...
.
.
.
.
.
🐥🐰
.
.
.
.
.

Minji mengalami diare.

Tadi pagi, ia baik-baik saja-main dan berlari-lari tapi tiba-tiba lemas dan diare.

Katanya diare adalah gejala yang tidak baik bagi manusia, apalagi makhluk kecil ini. Aku pun buru-buru mengalungkan syal dan membungkus si anjing dengan selimut, lalu pergi ke klinik hewan.

Ada banyak orang di sana. Dokter hewan di tempat itu adalah seorang wanita dan.........cantik.

Karena itulah aku melebih-lebihkan cerita, seolah Minji sudah sakit sejak lama. Dokter itu memiliki rambut panjang tergerai berwarna hitam.

Dia mencermati Minji beberapa kali dengan wajah khawatir, kemudian menyuntiknya dan memberi resep obat.

Dia juga memberi selembar kartu nama, memintaku menghubunginya jika Minji tiba-tiba sakit lagi malam nanti. Tapi, dia bicara sembari mengepalkan tangan, seakan memberi isyarat, “Kau harus meneleponku.”

Saat sampai di rumah, aku bersandar di sofa sembari mengamati dan terus mengamati kartu nama dokter hewan itu. Di kertas itu tertera nama Lee Bora, yang membuatku semakin ingin menghubunginya.

Aku merasa harus menghubunginya hari ini, yang berarti Minji seharusnya masih sakit. Tapi, kondisi Minji terlihat sangat baik setelah pulang dari rumah sakit, seakan dia tidak pernah pergi ke sana. Bahkan, fesesnya saja tampak sehat.

Aku mondar-mandir dengan gelisah di ruang tengah sambil mencari kotoran anjing yang tidak sempat kubersihkan sebelum pergi ke rumah sakit.

Tapi, kotoran itu lenyap.

Rumahku bahkan sudah bersih dan rapi. Sepertinya, tadi Ibu mampir. Ibu selalu begitu. Dia selalu selangkah lebih cepat dalam berpikir dan bertindak, sehingga sering kali hal-hal yang sudah berniat kulakukan menjadi tidak penting.

Aku melanggar kata-kata Minji yang memintaku menghubunginya jika Minji sakit lagi pada malam hari, dan menghubunginya pada pukul sembilan malam. Lalu, aku berkata jujur bahwa kondisi anjing itu sudah membaik. Bora turut senang dan bicara dengan suara ramah. Selagi suasana masih hangat, kunyatakan bahwa aku ingin mengundangnya ke rumah. Bora terdiam sejenak, kemudian menyetujui dan bilang akan berkunjung ke rumahku.

Entah mengapa, aku merasa batinku mulai terasa berat setelah selesai berbicara di telepon.

Kenapa begitu, ya?

Apa karena Jimin?

Ah, jangan terlalu dipikirkan. Hal menyenangkan seharusnya tetap dibiarkan seperti itu. Aku membenarkan diriku sendiri, berdalih bahwa aku adalah pria biasa dengan tujuan positif.

Bel rumahku berbunyi saat matahari terbenam. Pasti Bora. Aku sudah mengatur cahaya rumahku menjadi lembut. Tapi, sang pengunjung bukanlah Bora, melainkan Jimin.

“Ada apa kau kemari?” tanyaku canggung.

Jimin membuka pintu dan mencoba masuk seperti yang biasa dia lakukan.

Aku segera menggenggam erat kenop pintu sembari berkata, “Aku sedang menunggu tamu.”

“Tamu?”

Winter In Heart [KM] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang