Treize

587 83 3
                                    

Budayakan Vote & Comment

Sorry for typo

©Park_213

[311021]

Present...
.
.
.
.
.
🐥🐰
.
.
.
.
.

Di dalam mobil, sepanjang perjalanan pulang, Jimin bungkam. Aku menyalakan pemanas, berharap bisa menghangatkan hati dan tubuhnya tetapi Jimin tidak bereaksi sama sekali, hanya menatap ke luar jendala.

Sama seperti saat di rumah sakit, di depan pintu apartemenpun aku berlutut dan melepaskan sepatu Jimin. Setelah menempatkan dia dalam posisi yang nyaman, aku menyisir rambutnya yang tidak dicuci, helai demi helai dengan tangan. Dia bagaikan anjing telantar yang kubawa pulang.

Aku menyuapinya nasi yang sudah kumasak menjadi bubur. Jimin makan tanpa bicara sepatah kata pun. Setelah itu, aku membaringkannya di tempat tidur dan mengeluarkan selimut tebal, lalu menyelimutinya. Aku memeluk Jimin yang ada di balik selimut dengan lembut, berharap dia bisa kembali kepadaku dengan hati yang hangat.

Sudah berapa jam berlalu?

Jimin memanggilku dengan suara lemah, "Jungkook...."

"Iya, aku di sini."

"Apa kau mencium bau sesuatu dariku? Katanya kita akan menyukai bau apa pun yang muncul dari pasangan jika kita mencintai seseorang. Aku suka baumu."

"Aku tidak mencium bau apa-apa."

"Kau menyisir rambutku, kan?"

"Supaya kau bisa beristirahat dengan nyaman. Kau seperti anjing telantar. Awalnya, ia juga takut akan cinta. Sekarang, ia pasti merindukan kehangatan ini."

"... Benar."

"Jangan khawatir. Minji lebih pintar darimu. Ia pasti akan kembali."

"... Aku tahu." Jimin tersenyum.

"Sejujurnya, hari ini aku mengetahui banyak hal tentang mu. Keluargamu dan kenapa kau dipanggil Jimin."

Jimin melepaskan diri dari pelukanku dan berjalan menuju ruang tamu. Aku pun mengikutinya. Dia berdiri terpaku di tengah ruang keluarga.

Apa dia merasa tidak nyaman karena aku mencari tahu sendiri segala hal tentang dirinya?

"Kau sudah tahu alasan aku mendapat nama ini?" tanya Jimin.

"Iya."

"Kalau begitu, kau sekarang mencintaiku?"

"Benar."

"Begitu rupanya." ujar Jimin tenang.

Aku takut. Jimin pastilah merasa sangat terkejut.

"Apa hubungannya dengan hidupku?" tanya Jimin dingin.

"Kau mencintaiku. Apa hubungannya itu denganku?"

"Apa?"

"Aku puas........Aku sedang membalas dendam. Kau tahu itu?"

"Benarkah?"

"Bagaimana perasaanmu?"

"Aku merasa sangat mencintaimu."

Pupil mata Jimin spontan bergetar saat aku melawan niat jahatnya dengan pengakuanku.

Jimin bertanya dengan wajah bingung, "Kau serius?"

"Ya."

Dia berjalan perlahan menuju pintu dan memakai sepatu. "Aku tidak akan datang ke sini lagi."

"Apa?"

"Hari ini adalah hari saat kau mencintaiku. Aku jadi ingin hidup selamanya. Oleh karena itu, hari ini aku harus mati."

"Apa maksudmu sebenarnya?"

"Selama ini, juga hari ini, aku datang karena merindukanmu. Aku akan bunuh diri setelah menemuimu."

Aku kehilangan kata-kata.

"Tidak bisakah kau menganggap ini sebagai keputusan bersama yang rasional? Kita hanya melangkah ke jalan masing-masing."

Itu adalah perkataanku kepada Ibu saat aku tidak mau bertanggung jawab merawat Minji si anjing. Dasar hantu.

Darimana dia bisa tahu kata-kata itu?

"Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?"

"Tiba-tiba?" Jimin balik bertanya.

"Kau yang tiba-tiba seperti ini, bukan aku." 

Dia benar.

Aku meraih pergelangan tangan Jimin saat dia beranjak menuju pintu. "Ayo kita menikah!"

Sesaat, kami membisu.

Jimin lalu bicara dengan nada kalem, "Aku bukan milikmu."

"Kau bilang aku ini milikmu?"

"Jangan berusaha menjalin sesuatu denganku. Bisakah kau mencintaiku dengan tulus? Karena kalau memang begitu, aku akan menjadi milikmu selamanya."

"Sebenarnya apa maksudmu?!"

Aku roboh dan meratap, berusaha menahan kaki Jimin. Aku terus merajuk dan mengajaknya menikah.

"Dasar tak bertanggung jawab. Kau membuatku tak bisa hidup tanpamu, dan sekarang kau bertanya ada apa denganku?" batinku frustasi.

Ini pertama kalinya aku memohon kepada orang lain seperti ini seumur hidupku.

Entah kenapa, aku merasa aku tidak akan pernah bertemu Jimin lagi selamanya jika aku melepas tangan ini sekarang.

Namun, Jimin berkata dingin, "Hubungi kantor asuransi kalau besok kau sakit." lalu pergi.

Tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis. Entah kenapa, hatiku saat ini sangat sakit.

Anjing yang akan menjilati air mataku pun tak ada. Dengan susah payah, aku mencari ponsel dan menghubungi Taehyung.

"Hiks...."

"Jungkook, ada apa? Kau menangis?"

"Tolong, datanglah kemari."

"Apa?"

"Datanglah kemari!"

Tidak lama kemudian, Taehyung dan Yoongi yang baik hati datang ke rumahku. Melihat aku yang menangis di depan pintu yang terbuka, Taehyung pun berujar, "Kau gila. Akhirnya dia gila!"

Aku bicara sambil terisak, "Hiks.....Jimin pergi."

Yoongi menghela napas.

"Hiks....tolong pukul aku."

Bukannya memukul tapi Yoongi malah memelukku sambil mengelus punggungku. Sedangkan Taehyung hanya mengelus kepalaku lembut.















To be continued...

Winter In Heart [KM] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang