BAB 22. Dia Yang Dirindukan

17 3 0
                                    


"Nyatanya kamu tinggal dalam ingatan dan hati semua orang yang mengenalmu"

Rasanya benar-benar sepi tanpa keberadaan Embun. Kirana menatap bangku yang biasa diduduki Embun, kini kosong, tanpa disadarinya airmata itu kembali turun. Embun itu gadis yang baik, sebisa mungkin Embun berusaha agar tidak menyakiti hati orang lain, gadis itu juga tidak pernah mencari masalah, tetapi masalah tidak berhenti mendatanginya.

Wajah ceria Embun terputar dalam memori Kirana, dia si gadis paling ceria yang Kirana kenal. Gadis yang tidak pernah mengeluh sekalipun keluarganya mulai berubah.

"Lo yakin gak apa-apa?" tanya Kirana khawatir, gadis itu benar-benar kasihan, saat Embun terbangun dari koma, setelah kecelakaan, tidak satupun keluarganya berada disana. Dan lagi Embun tetap tersenyum, meski hati gadis itu sakit.

Bahkan di saat terburuknya, mereka juga tidak mendukung gadis itu.

"Embun ingin ikut ke pemakaman papa." pinta Embun pada Kirana dan Nora saat itu.

Meski terlihat baik-baik saja, Kirana mengerti Embun sedih, Embun kacau, dia kehilangan sosok yang paling dia sayangi. Bahkan saat Mariska mengabaikannya, saat Angkasa membentaknya, Embun tetap tersenyum, seolah semua baik-baik saja.

"Ini semua karena lo" bentak Angkasa saat Embun hadir di pemakaman papa mereka.

Embun terdiam, tidak memberontak atau membela dirinya. Setelah mereka pergi, di situlah Embun menumpahkan tangisnya, menangisi kepergian sang papa. Kirana dan Nora saksi bagaimana dengan tegarnya Embun menghadapi semuanya sendirian.

"Gue rindu lo Bun." lirih Kirana

Embun tidak pernah memikirkan kebahagiannya sendiri, yang dia lakukan adalah untuk kebahagiaan orang lain, termasuk Mariska. Embun tidak pernah menolak saat Mariska mendaftarkannya ke berbagai kegiatan bahkan tanpa meminta pendapat dari Embun, tanpa sepengetahuan Embun. Mariska bahkan memberi jadwal full untuk Embun, membuat gadis itu tidak memiliki waktu untuk istirahat, bahkan untuk berkumpul dengan merekapun Embun tidak memiliki waktu.

"Lo gak capek Bun. Lo bahkan gak ada waktu untuk istirahat," tanya Nora saat melihat semua jadwal yang Mariska siapkan. Pagi sampai siang gadis itu sekolah, dilanjutkan dengan bimbingan belajar yang dilakukan tiga kali dalam seminggu, dan di sisa hari Embun didaftarkan kursus piano dan beberapa kursus lainnya. Jika berada di posisi Embun mungkin Kirana sudah memilih kabur dari rumah saja.

"Gak apa-apa kok. Embun baik-baik aja. Asal mama bangga Embun akan lakukan semuanya," balas gadis itu dengan tulus.

Kursi yang ditarik, membuat Kirana tersadar dari lamunananya tentang Embun. Nora duduk di sampingnya, di tempat duduk milik Embun.

"Embun pasti bangunkan?" tanya Kirana dengan suara serak habis menangis

"Hem. Embun itu seperti namanya, hadir untuk menyejukan, tetapi terlalu cepat menghilang. Gue masih ingat pertama kali bertemu dia, anaknya polos banget," Nora terkekeh sendiri membayangkan wajah polos gadis berkepang yang memberinya sebuah permen untuk menghiburnya yang tengah menangis saat masih kecil.

"Kenapa sih semesta gak bisa berbaik sedikit aja membiarkan Embun bahagia?" gumam Kirana.

"Justru semesta baik Ran, Embun berhak berbahagia tetapi tidak di tengah dunia yang begitu kejam ini," balas Nora

Nora sama sedihnya dengan Kirana, Nora juga akan kehilangan Embun, tetapi mungkin memang inilah hal indah yang semesta tetapkan untuk Embun. Gadis itu sudah terlalu banyak menderita selama ini, sudah saatnya dia menemukan bahagianya sendiri.

"Gue gak siap!" tangis Kirana semakin menjadi-jadi.

"Gue masih ingin liat dia bermain piano, gue masih ingin bersama dengan dia, gue.." Kirana tidak bisa melanjutkan ucapannya. Sungguh, dia tidak siap jika harus kehilangan Embun sekarang.

99 Days With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang