BAB 1. Kenyataan Pahit

64 7 0
                                    

"Seberusaha apapun kita menghindar, jika sudah ditakdirkan maka pasti akan terjadi juga, cepat atau lambat"

Gadis cantik berponi itu pulang dengan kabar buruk yang baru saja didapat dari hasil lab hari itu. kabar yang pada akhirnya akan mengubah seluruh hidupnya. Gadis bernama lengkap Embun Sasmaya, gadis yang baru menginjak usia 19 tahun itu harus menerima kenyataan terburuk, saat dinyatakan terkena kanker otak stadium akhir.

Embun menatap langit-langit kamar yang dipenuhi dengan bintang yang akan menghasilkan cahaya di malam hari. Embun mengingat kembali semua perkataan dokter yang memeriksanya saat itu.

"Dengan berat hati saya harus mengatakan ini. Kamu terkena kanker otak stadium terakhir." ucapan pria berpakaian dokter itu bagai petir di siang hari bagi Embun.

Tatapan Embun seketika kosong saat kabar itu perlahan berputar di otaknya.

"Kita bisa lakukan operasi atau kemoterapi, setidaknya untuk memperpanjang waktu kamu," tambah pria yang dikenal dengan nama Buana, dokter spesialis otak..

" Berapa lama waktu yang Embun punya?" tanya Embun. Entah apa yang kini ada dipikiran gadis itu. Embun sama sekali tidak bisa berpikir jernih.

"Jika tanpa kemoterapi kamu punya waktu paling lama 4 bulan atau sekitar 99 hari lagi. Saya tidak ingin memberi harapan, tetapi tidak ada salahnya kita mencoba. Saya perlu berbicara dengan orangtua kamu mengenai hal ini."

Embun terdiam. Sesingkat itu waktu yang dia punya? Bahkan Embun tidak memiliki waktu untuk sekedar meyelesaikan studinya.

"Hasilnya akan sama saja bukan? Meski menjalani kemoterapi sekalipun tidak menjamin Embun akan sembuh," tutur Embun

Embun tidak menyerah. Hanya saja gadis itu merasa semua akan sia sia saja. Yang lebih buruk lagi, dia akan menghabiskan waktu di rumah sakit, dan merepotkan wanita yang merupakan orangtua tunggalnya. Akan lebih baik jika Embun menanggungnya sendiri, melakukan banyak hal sampai waktunya untuk pulang tiba.

"Tetapi setidaknya itu akan memperpanjang waktu kamu Embun. Berikan nomor telepon orangtua kamu biar saya yang menghubungi mereka," tutur Buana mencoba meyakinkan Embun.

Sungguh tragis hidup gadis belia yang berada dihadapannya itu. sebisa mungkin Buana sangat ingin membantu Embun setidaknya untuk memperpanjang waktu yang dimilikinya. Umur tidak ada yang mengetahuinya, dia hanya memberikan prediksi berdasarkan hasil pengujian, bisa aja ada keajaiban hingga Embun akhirnya bisa sembuh, meskin kemungkinannya benar benar kecil.

Embun tersenyum tipis. Meski menyakitkan, namun inilah takdir yang alam tetapkan untuk gadis itu. mau tidak mau, suka maupun tidak Embun harus menerimanya dengan lapang dada.

" Embun tidak apa-apa kok dok. Mungkin ini jalan yang Tuhan tetapkan untuk Embun. Apa Embun bisa mendapatkan resep obat setiidaknya untuk mengurangi rasa sakit?"

Buana takjub dengan bagaimana gadis semuda itu bisa menerima semua dengan lapang dada. Baru kali ini , dia bertemu pasien yang sudah ditetapkan waktu hidupnya, masih bisa tersenyum dan menerima semua dengan lapang dada

" Akan saya resepkan. Tetapi ini hanya mengurangi rasa sakit, tidak berefek apa pun. " jelas dokter Buana, Embun mengangguk mengerti

" Kamu bisa mempertimbangkannya lagi Embun. Saya akan membantu kamu sebisa saya," tutur Buana sekali lagi.

Embun tersenyum lalu mengangguk.

Berat menerima semuanya di saat seperti ini.

Embun adalah gadis yang bisa dikataakan mendekati sempurna. Gadis itu cantik namun juga terlihat imut dari beberapa sisi, dia juga gadis yang pintar dan berprestasi, ramah dan satu hal yang membuatnya semakin dikagumi adalah suara merdu serta keahliannya dalam bermain piano. setiap bermain piano, orang yang mendengarnya akan turut merasakan apa yang Embun coba sampaikan melalui lagu yang Embun bawakan.

"Kira-kira apa yang akan Mama dan Bang Angkasa lakukakan lakukan jika mengetahui Embun sakit. Apa mereka akan peduli?" gumam Embun. Gadis itu segera menyadari hal bodoh yang baru saja dia pikirkan.

" Mereka gak akan mungkin pedulikan." jawab Embun terkekeh menyadari betapa tragisnya hidup yang dia miliki.

Akan tetapi, jika dipikirkan lagi, apa disisa waktunya, Embun tidak akan melakukan apapun?. Apa Embun akan pergi dengan keadaan yang masih sama. Tidak akan ada yang menangisi kepergian gadis itu termasuk keluarganya sendiri. Mengingat semua itu, perlahan airmata Embun muai menetes, disaat seperti ini Embun tidak memilikki seseorang untuk memeluknya dan mengatakan bahwa semua akan baik baik saja, Embun sendirian.

" Pa, Embun Rindu Papa." gumam Embun

Sejak papa Embun meninggal semuanya berubah, kehidupan keluarganya yang dulu penuh kehangatan kini serasa seperti dikutub, dingin. Embun selalu merasa kesepian meski sedang bersama mama dan saudara laki lakinya. Mereka selalu sibuk dengan urusannya masing masing.

Setiap kali Embun pulang, hanya kekosongan yang akan gadis itu temukan. Embun rindu suasana yang dulu, suasana disaat semuanya masih baik baik saja. Suasana mamanya menyambutnya pulang sekolah, suasana Angkasa, saudara laki lakinya itu mengajaknya bermain, atau memperebutkan hal hal kecil.

Namun apa yang bisa Embun lakukan, semua sudah berubah. Embun mengambil figure pria yang amat dia rindukan, memeluk figure itu dengan erat, seolah memeluk papanya.

" Embun takut Pa. Embun harus bagaimana?" isak Embun. Gadis itu terkenal sebagai gadis yang mudah senyum, nyatanya dibalik senyum itu ada luka yang berusaha Embun sembunyikan.

Embun menumpahkan tangisannya. Menyesali hidupnya yang benar benar tidak beruntung.

" Embun!" panggil seseorang mengetuk pintu kamar gadis itu

Bergegas Embun masuk ke kamar mandi, membersihkan wajahnya. Embun menetap dirinya di cermin, lalu dengan sedikit paksaan Embun mengembangkan senyumnya. Merasa cukup meyakinkan Embun membuka pintu. Seorang wanitaa paruh baya dengan tatapan dingin tengah berdiri disana

" Dari mana saja? Mama dengar kamu melewatkan les piano kamu hari ini?" tanya wanita yang melahirkan Embun itu.

Embun mencoba mencari alasan yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan wanita itu

" Em, tadi Embun ada acara sama teman ma. Maaf Embun gak memberitahu mama dulu. Embun janji gak akan mengulangi lagi kok," tutur Embun beralibi. Tidak mungkin juga mengatakan kalau dia ke rumah sakit, bukan.

" Bibir kamu kenapa itu?" tatapan wanita itu mengarah pada bibir Embun yang terlihat lebih pucat. Embun tersenyum tipis, mengatakan kalau semua bak baik saja. Wanita itu hanya menganggukk sebelum meninggalkan Embun

"Oh iya, beberapa hari lagi ada kontes piano, mama udah daftarin nama kamu. Mama harap kamu tidak akan mengecewakan mama," tutur wanita itu lagi

Hal yang sama terulang lagi. Semua hal dalam hidup Embun selalu diatur oleh Mariska, wanita yang telah melahirkannya itu. bahkan seringkali Mariska tidak mendiskusikan dulu dengan Embun dan membuat keputusan sepihak.

" Apa mama gak bisa diskusikan dulu sama Embun, setidaknya tanya dulu Embun siap atau enggak," ucap Embun dengan hati hati

"Mama udah daftar. Kamu masih punya waktu bersiap. Tidak perlu banyak protes" cetus wanita itu sebelum benar benar meninggalkan Embun dengan keterdiamannya.

Embun tidak berhak atas hidupnya sendiri. Bahkan sampai akhir hidupnya sekalipun. Sebuah kenyataan terpahit dalam hidup Embun selain penyakit yang semakin menggerogoti fisiknya itu.
***

99 Days With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang