BAB 21. Titik Terlemah

16 4 0
                                    

"Dia tengah berjuang, membuka mata untuk melihat cahaya itu lagi"

Semua orang di depan ruang rawat terlihat tengah khawatir menunggu dokter keluar untuk memberi kabar mengenai kondisi kesayangan mereka. Sejak Embun dilarikan ke rumah sakit, Mariska tidak berhenti menangis, air mata Mariska mungkin telah membasahi kemeja yang Angkasa kenakan. Wanita paruh baya itu benar-benar takut tidak memiliki kesempatan untuk meminta maaf pada putrinya itu. bukan hanya Mariska, Nora kini menangis dalam pelukan Sky begitupun dengan Kirana yang menangis dalam pelukan Argo.

"Gue takut. Gue takut Embun gak bisa bertahan," lirih Kirana dalam pelukan Argo. Pria itu mengelus bahu Kirana, mencoba menenangkan.

Fajar sendiri mondar-mandir di depan ruang rawat. Melihat bagaimana kondisi Embun yang sudah tidak sadarkan diri membuatnya benar-benar tidak bisa tenang. Rasa takut mendominasi di hati mereka semua. Bagaimana jika Embun tidak bisa membuka mata lagi, bagaimana jika Embun tidak bisa bersama mereka lagi.

Mereka mendekat saat dokter keluar dari ruangan itu, wajah Buana menunjukan hal buruk sedang terjadi.

"Bagaimana kondisi putri saya dok?" tanya Mariska

"Anda ibunya?" Mariska mengangguk membenarkan. Buana terlihat menghela nafas, sebelum menyampaikan sesuatu yang bukan hal baik.

"Kondisi Embun kritis. Seperti yang saya duga sebelumnya, beberapa fungsi dalam jaringan otak Embun mulai rusak, termasuk yang mengatur pergerakan. Artinya Embun mengalami kelumpuhan," tutur Buana. Tangis Mariska tidak lagi terbendung, bukan hanya wanita paruh baya itu, namun semua yang berada di sana merasakan kesedihan yang sama.

Embun kritis? Gadis itu sedang berjuang untuk hidup, dan parahnya gadis itu mengalami kelumpuhan. Bagaimana Embun akan meghadapi semuanya.

"Apa yang harus Mama lakukan?" isak Mariska.

Fajar masih membeku, apa yang baru dia dengar. Pasti dia sedang mimpi bukan? Dia gagal lagi. Sama seperti dia dulu gagal menjaga Abel.

" Apa masih ada harapan untuk Embun?" tanya Mariska berharap, meski sudah jelas akan seperti apa, tidak ada salahnya bukan.

"Seharusnya sejak awal kita melakukan pengobatan, mungkin hal ini tidak akan terjadi," sesal Buana. Bagai tamparan yang menyesakkan, membuat Mariska semakin merasa bersalah. Bagaimana dia sebagai ibu, sama sekali tidak mengetahui kondisi sang putri. Dia bahkan kehilangan pria yang dia cintai karena penyakit mematikan itu, lalu bagaimana mungkin dia begitu ceroboh sehingga tidak mewanti-wanti kalau keturunan mereka akan menderita penyakit yang sama. Yah apa gunanya sebuah penyesalan.

" Apa tidak ada cara untuk menyembuhkan Embun?" kali ini dengan suara serak sehabis menangis, Kirana ikut angkat bicara.

"Kita bisa melakukan operasi, tapi.." Buana menatap semua yang berada di sana, tatapan penuh harap yang berada di sana.

"Tingkat keberhasilannya hanya 20 persen, dan apabila gagal, kita tidak bisa berbuat apa pun lagi. Dan mungkin Embun tidak akan menerimanya, mengingat selama ini gadis itu selalu mengatakan kalau dia sudah siap dengan akhirnya," jelas Buana.

Hanya 20 persen, yang berarti resikonya lebih besar. Jika gagal maka mereka kehilangan Embun sebelum waktunya.

"Keputusan ada di tangan keluarganya. Kondisinya saat ini sangat mengkhawatirkan, kita berdoa semoga ada keajaiban yang akan membuatnya terbangun, supaya kita bisa memutuskan tindakan selanjutnya," tutur Buana, sebelum pamit meninggalkan keterdiaman semua orang, hanya isak tangis yang terdengar.

"Maafkan aku Adam. Maaf aku tidak bisa menjaga anak-anak kita," sesal Mariska

..

Fajar menahan air bening itu untuk turun, saat memasuki ruang rawat Embun. Gadis itu terbaring dengan banyak selang yang menyangga hidupnya. Bunyi monitor yang masih bergerak menunjukan Embun tengah berjuang untuk hidup. Bayangan Arabel yang berada disana juga terputar di kepala Fajar, apa untuk kedua kalinya Fajar kehilangan orang yang dia sayangi. Mengapa semesta begitu kejam padanya, mengambil orang-orang yang dia sayangi.

Fajar mendekat, duduk di sebelah gadis yang telah berhasil memenuhi pikirannya itu, gadis yang berhasil membuatnya nyaman selain Arabel, gadis yang berhasil membuatnya memiliki pengharapan setelah kehilangan Arabel, namun kini gadis itu mengalami hal yang sama seperti Arabel.

"Hei..ingat saat pertama kali lo bilang suka sama gue. Sejujurnya gue juga udah lama memperhatikan lo Bun, hanya saja gue terlalu malas untuk memulai. Adik gue benar, gue terlalu pengecut sebagai seorang pria hehe," ucap Fajar seolah Embun tengah mendengarkannya. Ya dia yakin meski mata itu tertutup, Embun pasti mendengar suaranya.

Dengan hati-hati Fajar menggenggam tangan mungil itu.

"Biasanya lo pasti salah tingkah kalau gue genggam tangan lo kan. Gue mau tau ekspresi lo kalau tau gue mengecup tangan lo," Fajar terkekeh sendiri membayangkannya. Pria itu mengecup tangan mungil Embun, lalu beralih ke kening gadis itu.

"Buka mata lo dong. Liat gue seperti biasa. Lo gak sendiri lagi Bun. Ada Mama lo, ada Abang lo juga sahabat lo. Bangun dong, mereka merindukan lo. Gue juga," lirih Fajar, suara Fajar melemah diakhir, rasa sesak menghimpit dadanya, sampai rasanya ingin mati saja. Bagaimana Fajar akan menghadapi ini lagi, kehilangan oleh penyebab yang sama.

"Gue gak akan biarin Claire hidup, kalau sampai gue kehilangan lo Bun," Fajar rasanya ingin mencekik leher Claire, semua karena gadis itu. jika saja Claire tidak menculik Embun, tentu sampai hari ini Embun masih baik-baik saja.

"Ingat, lo masih punya utang sama gue. Ini bahkan belum 99 hari yang lo minta Bun, jadi please jangan tinggalin gue seperti Abel, gue gak siap, gue kacau." Fajar meletakan tangan Embun di wajahnya, membayangkann Embun terbangun dan mengatakan kalau dia akan tetap di sisi Fajar.

Tanpa Fajar sadari, setetes air mata, turun dari sudut mata Embun, gadis itu menangis. Embun ingin bangun, Embun ingin membuka matanya untuk mengahapus jejak airmata Fajar, namun kegelapan mencekamnya, menahanya untuk keluar dari sana.

Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Fajar, pria itu menoleh menatap orang yang baru masuk. Dia Mariska, wanita paling menyesal atas apa yang terjadi pada putrinya.

"Ampuni Mama Embun. Ampuni Mama." isak Mariska.

Jika saja bisa memutar waktu, Mariska akan lebih memperhatikan Embun, bukan malah memaksa Embun melakukan semua yang dia inginkan.

"Maafin Mama. Kamu boleh terbebas dari semua aturan itu selamanya, kamu boleh marah kalau Mama terlalu mengatur hidup kamu, kamu boleh membenci Mama, tapi tolong bangun. Kamu boleh memaki Mama sepuas kamu. Bangun ya nak." Mariska menangis.

Semenjak Adam meninggal, Mariska berusaha tegar untuk anak-anaknya.

"Kenapa Mama sama Bang Asa berubah?" tutur Embun saat pertama kali bangun setelah mengalami kecelakaan yang hampir merengut nyawanya.

Semua terputar bak kaset di kepala Mariska, bagaimana wajah itu memohon padanya, bagaimana wajah itu memintanya untuk pulang karena takut sendirian di rumah. Tangis Mariska semakin menjadi-jadi, ibu macam apa dia itu.

Sementara di balik pintu, Angkasa juga menangis, terduduk di lantai. Angkasa sama dengan Mariska, pria itu menyesali semua perbuatannya pada Embun. Rasanya Angkasa ingin sekali menggantikan posisi Embun, adiknya itu sudah terlalu sakit selama ini.

"Bang Asa, Embun kangen!" rengek Embun saat Angkasa pulang setelah menghilang selama beberapa hari. Ekspresi Embun yaang selalu tersenyum membuat Angkasa hampir gila karenanya, Angkasa ingin melihat senyum itu lagi.

"Ampuni abang Embun. Please bangun."

Memangnya apa yang bisa mereka lakukan selain berdoa untuk sebuah keajaiban.

Semua berdoa untuknya, semua mengharapkan kesembuhannya, semua orang ingin melihatnya terbangun, tersenyum dan tidak sedikit yang ingin Embun bermain piano sambil tersenyum, memainkan jemari di atas tuts piano yang selalu berhasil membuat semua orang terpukau. Sekarang mereka mengerti betapa berarti seseorang ketika kita mulai kehilangan dia.

Embun ingin bangun, Embun ingin melihat cahaya itu lagi, Embun ingin mengatakan pada mereka semua bahwa dia baik-baik saja, dan akan selalu begitu. Dia ingin menghabiskan sedikit waktu lagi bersama mereka. Embun ingin bangkit. Jemari itu mulai menunjukan pergerakan kecil.

99 Days With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang