Mengungkap Rahasia (PART 3 )

4 1 0
                                    


Jalanan riuh, kendaraan berjajar-jajar di perempatan. Lampu rambu-rambu lalu lintas akan menyala lima detik lagi, Arka bersiap menginjak gas mobilnya. Melewati perempatan pertama, kini harus mengantre lagi di perempatan kedua. Kali ini mobilnya di barisan belakang. Diperkirakan akan menunggu hingga dua kali lampu merah baru bisa keluar.

Arka memutar tombol AC ke kanan menurunkan suhu ruang dalam mobil. Meskipun di dalam kendaraan, berdesakan seperti dirasakan. Arka menawarkan minuman botol yang tersedia di mobilnya kepada Salma. Dengan tegas Salma menolak karena minuman itu terlalu banyak mengandung gula, "Aku hanya minum air putih, Arka. Kalau minum yang banyak gula, bisa-bisa aku gak dapat kerjaan, dong," ucap Salma diakhiri dengan tertawa.

Kendaraan Arka mulai bergerak setelah lampu hijau menyala. Ia segera mengarahkan stang mobil ke kana, ke arah kafe yang akan mereka tuju. Dari perempatan tidak terlalu jauh dan tidak melewati rambu-rambu lalu listas lagi. Lima menit kemudian mereka telah sampai di kafe yang ternyata juga ramai pengunjungnya. Memang kafe ini menjadi tempat favorit di jam makan siang.

Arka dan Salam menuju resepsionis dan memesan makanan dan minuman. Berbeda dengan Arka, Salma memesan makanan yang rendah kalori. Ia sangat menghindari sesuatu yang bisa membuat tubuhnya menggendut.

Usai membayar di kasir, mereka mencari tempat duduk yang kosong. Salma mengajak Arka makan di luar ruangan, Arka pun menurut.

"Kak Salma." Arka memulai percakapan setelah beberapa saat duduk di meja bundar berbahan stainles itu, "sebenarnya ada yang mau aku tanyakan ke kakak."

Salma masih sibuk memainkan gawainya, seperti tidak memperhatikan Arka sedang bicara. Arka bergeming, tak enak hati untuk menegur Salma. Hingga karyawan kafe datang membawa pesanan mereka.

"Di makan dulu, Kak," ucap Arka yang kemudian membuat Salma terperanjat.

Mereka pun menikmati makanan. Selesai menghabiskan makanan Arka kembali bercelutuk, "Kak Salma, sebenarnya ada yang mau aku tanyakan ke kakak, bisa?"

Salma meneguk air putih lalu meletakkan kembali gelas ke meja, "Oh boleh-boleh, mau tanya apa? Kalau soal pekerjaan mending langsung ke managerku saja," jawab Salma.

Arka mengatur duduknya, membuat tubuhnya menjadi tegak dan pandangannya kurus ke depan, "Ini bukan soal pekerjaan sih, Kak, tapi soal Rehan."

Salma terkejut mendengar Arka mengucap kata Rehan. Ia seakan kembali mengingat kenangan lama yang telah dilupakan. "Harus nih aku cerita tentang Rehan kepadamu, bukankah kamu adiknya? Seharusnya sudah taulah tentang aku dan masmu," jawab Salma sedikit gugup.

"Serius, Kak. Mas Rehan itu orangnya tertutup. Apalagi soal percintaan, mana pernah dia cerita sama aku," ucap Arka, raut mukanya menampakkan kekecewaan.

Salma bergumam, lalu mulai menceritakan kisahnya dengan Rehan empat tahun silam. Mengawali bertutur, ia menceritakan awal pertemuannya dengan Rehan. Menurut Salma, Rehan dalah laki-laki yang baik. Sebenarnya ia kagum dengan Rehan karena sosoknya yang dewasa dan penyabar. Namun, ada alasan lain sehingga ia tidak menerima Rehan.

"Aku tidak yakin bisa membahagiakan Rehan, Arka. Karena pekerjaanku yang sering ke luar kota, apalagi Rehan harus dapat perhatian lebih karena penyakitnya."

Arka terkesiap, memastikan telinganya tak salah dengar, "Penyakit? Maksudnya penyakit siapa, Kak?"

Salma memicingkan mata, kedua alisnya menyatu. "Apa kamu tidak tahu kalau masmu sakit luekimia?" Salma memastikan.

"Sebentar Kak. Maksud Kak Salma Mas Rehan sakit leukimia?" Arka menengadahkan kedua telapak tangannya, merasa tidak percaya dengan apa yang baru didengar, "sejak kapan? Kenapa Mas Rehan menyembunyikan ini dari aku?"

Salma tak kalah heran dengan sikap Rehan yang ternyata menyembunyikan penyakit dari Arka, "Mungkin Rehan memiliki alasan sendiri untuk menyembunyikan ini darimu. Yang jelas dulu Masmu sering pingsan di kampus, mimisan juga. Sampai aku mengantarnya periksa dan aku tahu hasil tes laboratoriumnya. Setelah itu Rehan juga sering opname, kok. Apa kamu tidak tahu sama sekali?"

Arka menggeleng. Ia mengingat masa-masa di mana Rehan masih kuliah, saat itu ia sedang duduk di bangku aliyah. Yang ia tahu Rehan adalah aktivis di kampusnya. Jadi perkara pulang telat atau pun tidak pulang pun sudah biasa. Arka teringat suatu ketika ia tinggal sendiri di rumah, karena Rehan sedang ada kegiatan kampus di luar kota. Rehan maupun Arka, keduanya sudah terbiasa hidup mandiri tanpa orang tua. Ada sih saudara yang tinggal di dekat rumah, tetapi mereka enggan merepotkan saudara.

"Ke luar kota?" tanya Salma keheranan, "seingatku Rehan tidak pernah ikut saat acara kampus hingga ke luar kota, ia selalu bilang tidak mau meninggalkan adiknya di rumah sendiri. Rehan hanya menghandle kegiatan di kota ini saja, selebihnya tidak ada."

"Begitu ya, Kak." Arka menundukkan kepala, merasa kecewa tidak tahu apa yang terjadi selama ini.

"Tidak apa, kamu jangan sedih. Rehan ada benarnya. Dia tidak mau kamu kepikiran tentang sakitnya," ucap Salma menenangkan Arka.

Arka bergeming. Tak sadar jika waktu istirahat sudah usai. Salma melirik jam tangannya, mengingatkan Arka untuk segera kembali ke kantor. Ia pamit untuk pulang sendiri menggunakan taksi online yang sedang dipesannya. Arka pun menginyakan, ia pun segera kembali ke kantor dengan perasaan yang berkecambuk di dada.

Di tengah perjalanan Arka merogoh gawai dari saku celana, lantas mencari nama seseorang yang akan dihubungi. Ia mengucapkan salam setelah seseorang di balik gawai itu menerima panggilan. "Mas, aku mau bicara," ucapnya. 

Dongeng Perempuan Berpipi MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang