Mengapa Harus Memilih, Jika Keduanya Terasa Sakit (PART 2)

1 1 0
                                    


Sebuah kafe di dekat kantor menjadi tujuan Arka. Kafe minimalis modern ini tak pernah sepi. Pengunjung yang mayoritas adalah karyawan menyediakan beragam menu makanan dan minuman dengan harga yang terjangkau. Tidak hanya siang, malam hari pun kafe ini juga ramai pengunjung. Area outdoor dihiasa lampu-lampu beratapkan langit ini menjadi spot favorit kawula muda. Jika tidak ada kerjaan, Arka sering nongkrong di kafe ini hingga malam

Arka mengarahkan stang mobilnya untuk memasuki area parkir yang luas. Perempuan itu turun setelah Arka mematikan mesin mobilnya. Arka segera menuju ke meja resepsionis tempat untuk memesan makanan juga minuman.

Seorang pegawai kafe menyodorkan buku menu kepada Arka.

"Aku seperti biasa saja," ucap Arka kepada pegawai yang ia sudah hafal dengan Arka karena saking seringnya makan di kafe ini, "kamu mau yang mana?" tanya Arka kepada perempuan yang tengah berdiri di belakang, seraya menyodorkan buku menu itu kepadanya.

"Samain aja."

"Sama, Mbak. Dua porsi, ya! Jangan lupa es batuku jangan terlalu banyak."

"Siap," jawab pegawai kafe singkat.

Arka segera bergeser ke kiri menuju ke meja kasir. Sudah menjadi peraturan kafe membayar pesanan sebelum dimakan. Kafe dengan area indoor dan outdoor ini kurang efektif jika urusan membayar dilakukan setelah makan. Usai makan pelanggan bisa langsung meninggalkan tempat atau bisa juga sembari menikmati pemandangan di luar kafe yang menyuguhkan sebuah danau di tengah kota.

Usai membayar, pegawai kafe itu memberikan nomor meja kepada pelanggannya. Arka berjalan mencari tempat duduk yang kosong sembari menenteng benda terbuat dari kayu bertuliskan angka tiga puluh dua. "Mau di dalam atau di luar?"

"Di dalam saja. Di luar panas," jawab perempuan yang sedang membenarkan hijabnya.

Mereka menemukan meja kosong di dekat musala kafe. Tidak lama kemudian pesenan pun datang. Mereka segera menyantap makanan itu karena jam istirahat kantor segera berakhir.

Seorang perempuan berjalan dari pintu masuk kafe menuju musala. Ia terlihat tergesa-gesa, tangannya menjinjing rok sebelah kanan. Ia masuk ke toilet dan segera membersihkan rok yang terkena noda saos.

Tidak lama kemudian perempuan itu keluar toilet. Tangannya terus mengibaskan rok yang sedikit basah, berharap segera kering tertiup angin.

"Kak Salma?" Arka mengenal wajah perempuan itu, seperti tidak asing baginya, "bener Kak Salma, kan?"

Perempuan itu mengernyitkan dahi, berusaha mengingat wajah laki-laki yang mengetahui namanya. "Iya, aku Salam. Kamu ...," Salma memegang kepala dengan satu tangan, mencoba mengingat laki-laki itu.

"Ayo tebak aku siapa?" Arka justru membuat Salam semakin penasaran. Sesaat kemudian Arka menyebutkan namanya.

"Oh iya, Arka. Adiknya Rehan, kan? Aku baru ingat. Makanya tadi kok seperti saya pernah lihat. Boleh aku duduk di sini?" Salma menempati kursi kosong di samping perempuan yang bersama Arka.

"Tentu boleh, dong. Kak Salma apa kabar?"

Arka ngobrol dengan Salma. Sementara perempuan itu izin ke toilet sekalian menunaikan salat dhuhur di musala kafe.

Layaknya teman lama yang tak pernah bertemu, mereka bercerita ngalor ngidul mulai a sampai z. Dulu Salma sering main ke rumah dengan teman dekat Rehan yang lain. Sebab itulah Arka seperti teman sendiri dengan Salma.

"Kak Salma ini ternyata pernah PHP-in Mas Rehan, yo?" tanya Arka dengan gelagak tawa yang dibuat-buat, "sampai-sampai bikin Mas Rehan gagal move on bertahun-bertahun," lanjutnya.

"Loh iyakah? Berarti masmu belum nikah sampai sekarang? Tak pikir sudah menikah eg," jawab Salma keheranan.

"Gimana mau menikah, hlawong cintanya hanya untukmu, Kak." Alis Arka terangkat sebelah, menyembunyikan sesuatu hal kepada Salma. Tak mungkin ia menceritakan jika Rehan sebenanrnya sudah move on dengan perempuan yang ia cinta. Biarlah menjadi kisah misteri baginya.

"Sebenarnya aku kasihan sama Rehan," ujar Salma, wajahnya seketika ditekut, raut kesedihan tampak di wajahnya.

"Kasihan? Maksud Kak Salma apa?"

Salma mengalihkan pembicaraan terkait pekerjaan. Ia bercerita jika berkeja di sebuah agency model yang berkantor pusat di Jakarta dan sering menerima job di Semarang, Bandung dan juga Surabaya.

Kebetulan sekali pekerjaan Salma berkaitan erat dengan Arka yang bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang Advertising. Menggarap iklan perusahaan-perusahaan besar di Surabaya sudah menjadi perkejaan setiap harinya.

Arka merasa bahwa pekerjaannya sangat berkaitan dengan Salma. Ia meminta nomor Salma, barangkali suatu hari ia ingin mengambil jasa Salma untuk projek iklannya. "Biasanya produk apa yang kamu ambil?" tanya Arka memastikan.

"Karena saya berhijab ya sedikit terbatas, sih. Ada beberapa produk kecantikan, sampo. Kemarin dapat tawaran obat pelangsin, tapi tidak aku ambil," jawabnya malu-malu.

"Baiklah. Aku save ya nomor kakak."

Salma mengangkat jempol kanan seraya berkata, "Oke. Eh aku permisi dulu, ya. Tidak enak ditunggu teman di sana. Ini dia pasti akan bertanya-tanya." Salma berdiri kemudian berjalan ke depan meninggalkan Arka.

Di perjalanan menuju kantor Arka tampak murung. Hingga sampai di gerbang masuk kantornya ia hanya diam. Perempuan yang duduk di sebelahnya begitu heran apa yang terjadi barusan hingga sikap Arka berubah seketika.

"Kamu ada masalah?" tanya perempuan itu.

"Banyak."

"Boleh aku mendengarnya?"

"Nanti malam aku telfon. Sekarang bersikaplah profesional. Kita sudah sampai di kantor."

Keduanya turun lalu berjalan menuju kantor. Arka kembali ke ruangannya, sedangkan perempuan itu tengah menuju tempat kerjanya yang ditunjukkan oleh sekretaris Arka. 

Dongeng Perempuan Berpipi MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang