Sebuah Kawasan Bernama Kampung Inggris

16 4 0
                                    

Jika  berkunjung ke Pare  sebuah kecamatan di Kabupaten Kediri, kau akan disuguhi dengan pemandangan yang luar biasa. Orang-orang berkulit putih, tinggi, dan berambut pirang dapat dijumpai di sana. Tidak terdapat pantai di tempat ini, seperti halnya pemandangan di Pulau Dewata. Orang-orang itu justru memakai jas, sesekali hanya mengenakan kaus atau kemeja. Sejak sore hingga menjelang malam kawasan ini tak pernah sepi. Muda-mudi berhamburan mengayuh sepeda yang disewa dari penduduk setempat untuk sekadar nongkrong, mencari makan dan mungkin hanya berkeliling saja.

Ditemani secangkir kopi, Rehan duduk bersantai di depan toko bukunya setelah pengunjung berangsur pergi. Di saat sore Pare Book Store yang merupakan toko buku terbesar di Pare ini selalu ramai. Toko ini tidak hanya menjual buku, tetapi juga melayani jasa foto copy. Jika empat karyawannya kewalahan, Rehan akan membantu menyelesaikan pekerjaan.

Adalah Kampung Inggris. Kampung yang tidak terlalu luas, tetapi mampu menarik anak-anak muda dari berbagai daerah  untuk menimba ilmu di sana. Tidak hanya dari kawasan Kediri dan kota sekitarnya, tetapi terkadang juga berasal dari luar Jawa. Kampung yang memiliki ratusan lembaga kursus Bahasa Inggris sejak 1977 inilah yang menjadikan Kecamatan Pare terasa seperti wilayah kota. Toko-toko dan rumah makan besar yang biasanya hanya dapat dijumpai di kota, di Pare pun tersedia. Lembaga bimbingan belajar besar yang berkantor pusat di Yogyakarta juga melengkapi kemegahan wilayah yang berbatasan dengan Jombang  Nganjuk, dan Malang.

Rehan kembali menyesap kopi yang diseduh dengan sedikit gula. Seorang guru yang masih jomlo ini tidak suka minuman terlalu manis. Setiap hari setelah aktivitas di madrasah, ia menghabiskan waktu di toko peninggalan orang tuanya. Inilah yang membuatnya tak pernah kesepian, meskipun Arka adik Rehan  tidak tinggal di rumah. Beda dengan Rehan, Arka memilih bekerja di Surabaya. Kakak beradik ini seperti hitam dan putih, kontras. Dalam hal penampilan maupun pemikiran.

Setiap hari bertemu gadis cantik, nyatanya tak membuat Rehan kembali membuka hati setelah cintanya bertepuk sebelah tangan dengan Salma, teman satu jurusan di kampusnya. Terkadang sahabat itu bisa menyakiti jika tumbuh rasa yang lain. Tidak ada balasan dari Salma atas perasaan Rehan untuknya. Penolakan itulah yang membuat Rehan enggan membuka kembali hatinya yang terlanjur tergores karena perasaan yang salah.

Selain Pare Book Store Rehan juga mengelola indekost. Siswa kursus di Kampung Inggris yang datang dari luar daerah bisa memilih tempat tinggal. Beberapa lembaga kursus menyediakan camp khusus untuk siswanya. Siswa yang tinggal di camp, tentunya harus menaati peraturan lembaga dengan menggunakan bahasa Inggris saat berdiskusi maupun berkomunikasi. Jika tidak berkenan, siswa memilih tinggal di  indekost yang bisa didapat dengan mudah di sekitar lingkungan lembaga. Rehan memiliki empat kamar indekost putri. Dulu almarhum ibunya yang mengelola usaha ini. Setelah tiada, Rehan dibantu orang lain untuk mengelola.

Rehan seketika berdiri dari tempat duduknya, tatkala matanya menangkap seseorang perempuan menghentikan sepeda motor di depan toko. Ia terus mengamati perempuan itu saat melepas helm dan meletakkannya di atas jok motor matic, lalu berjalan menuju toko.
Perempuan berhijab itu mengutas senyum kepada Rehan saat ia melewati Rehan yang tengah berdiri seakan menyambut kedatangannya.

Perempuan ini tak lain adalah anak salah satu pemilik yayasan di mana Rehan mengajar. Seperti halnya orang yang saling mengenal, Rehan menyapa Aqish yang kemudian turut berjalan menuju toko. Seorang karyawan hendak menyambut Aqish, tetapi mengetahui Rehan sudah berdiri di belakang etalase, ia pun kembali menyelesaikan pekerjaannya. Aqish mengeluarkan kertas dari tas rangsel kemudian menyodorkan kepada Rehan.

Tanpa melihat kertas yang diterima, Rehan pun bercelutuk, "Ya memang begitu, Mbak Aqish, mahasiswa yang mau lulus pasti banyak yang di-photo copy. Mau di-copy berapa lembar ini, Mbak?"

Aqish tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Bukan berkas saya, Pak. Niku punya e Ibuk."

Rehan  nyengir, merasa malu karena salah tebak. Barulah ia membaca kertas itu. Benar, kertas-kertas itu terdapat kop surat bertuliskan Taman Kanak-Kanak Darun Naja. Rehan kembali menatap Aqish dengan raut muka yang masih sama.

"Langsung tak foto copy saja, ya."

Aqish hanya tersenyum dan menganggukkan kepala.

Meski usia Aqish terpaut jauh dengan Rehan, tetapi mereka seperti teman. Mereka sering bertemu tidak hanya saat di toko, tetapi juga pada urusan yayasan. Aqish memang belum selesai kuliah, tetapi ia sudah membantu ibunya mengajar TK sejak bapaknya meninggal. Sejak dulu bapak selalu menginginkan Aqish turut mengurus yayasan keluarga yang saat ini diketuai oleh adik almarhum. 

“Sampun, Ning," ucap Rehan setelah selesai menggandakan kertas itu menjadi lima puluh lembar.

"Berapa, Pak?"

"Wes, bawa aja. Nggak usah bayar."

"Jangan begitu, Pak. Saya jadi nggak enak."

Rehan memasukkan setumpuk kertas hangat itu ke dalam plastik bening, lalu dibungkus dengan kantong plastik putih yang terdapat sablon nama tokonya.

Aqish mengeluarkan uang seratus ribuan setelah menerima kantong plastik yang diserahkan Rehan. "Niki, Pak. Cepetan sudah hampir maghrib ini."

Rehan mendorong telapak tangan, tanda menolak pemberian Aqish. Rehan selalu begitu jika untuk urusan yayasan.

Sebenarnya Aqish sudah paham, tetapi berusaha membayarnya meskipun pada akhirnya tetap ditolak oleh Rehan.

"Nggeh sampun, matur nuwun."

Aqish menarik kembali uangnya yang kemudian dimasukkan ke tas beserta setumpuk kertas. Aqish harus cepat-cepat, sebentar lagi azan maghrib akan berkumandang.

"Eh tunggu dulu, Mbak," teriak Rehan ketika Aqish hendak meraih helm di atas jok motornya seraya berjalan ke arah Aqish.

"Apa yang ketinggalan, Pak?" Aqish meraba saku rok memastikan kunci motor ada di dalamnya.

"Tidak ada yang ketinggalan, kok. Cuma mau titip salam untuk ibuknya Mbak Aqish dan nitip pesan," jawab Rehan disertai senyum yang melihatkan ceruk di kedua pipinya.

“Menopo, Pak, nanti saya  sampaikan."

"Tolong bilang ke ibuk, anaknya jangan diberi gula banyak-banyak. Manisnya kelewatan." Rehan nyengir lalu menundukkan kepala, tak berani menatap perempuan yang tengah digoda.

“Hih apaan, sih, Pak. Saya pamit dulu, nggeh." Aqish tak menanggapi dan langsung pergi setelah mengucapkan salam kepada Rehan.

Digoda Rehan seperti tadi, bagi Aqish sudah biasa. Aqish hafal betul bagaimana kebiasaan Rehan yang sering menggoda perempuan-perempuan yang datang ke tokonya. Jiwa humoris Rehan nyatanya membuat pengunjung tidak canggung saat berkunjung ke toko. Beberapa perempuan justru menanggapi candaan Rehan dengan kembali menggodanya.

Rehan menutup toko tepat ketika azan maghrib berkumandang. Kali ini ia tidak salat di toko, tetapi memilih untuk pulang ke rumah yang tidak jauh dari sana. Sekitar lima menit Rehan telah sampai di rumah dengan mengendarai sepeda motornya.

Buku kecil dan tebal di atas laci menjadi pusat perhatian Rehan beberapa saat setelah menjalankan ibadah. Ia selalu menggoreskan sesuatu di lembaran-lembaran buku itu tentang dirinya. Kali ini setelah bertemu Aqish, Rehan ingin sekali menuliskan sesuatu di buku catatannya.

Rehan melipat sajadah dan meletakkannya di atas ranjang lantas meraih buku serta pena yang berada di samping buku. Seutas senyum menyertai jemari Rehan yang mulai bermain di atas kertas. Sebuah nama tersemat dalam catatannya kali ini, Aqish Humaira Syailendra.

Dongeng Perempuan Berpipi MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang