9.Keputusan

236 12 0
                                    

Setelah terdiam cukup lama dan memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi jika aku menolak untuk menikah dengan anak dari rekan papah itu, dengan berat hati aku sudah menemukan keputusan terbaik untuk kami semua, setidaknya untuk keluargaku.

Aku menatap kedua manik mamah sambil menggenggam tangannya gemetar. "Baiklah, jika memang gak ada pilihan lain lagi untuk menyelamatkan perusahaan keluarga kita maka, Fio bersedia untuk menikah, tapi dengan satu syarat."

"Apapun itu sayang, katakan!" Terlihat rasa lega di wajah kedua orang tuaku setelah aku berkata demikian.

Tapi perasaanku yang mulai terasa tidak baik-baik saja. Rasanya berat untuk menyetujui hal itu, tapi aku gak mungkin egois bukan? Aku gak bisa setega itu membiarkan keluarga kecilku hancur di depan mataku sendiri.

"Endrico gak boleh tahu tentang semua ini, rahasiakan semua ini dari dia mah, Fio mohon." Aku terisak pelan, berharap mamah-papah mau menyetujui permintaanku.

"Sesuai keinginan kamu, kita akan merahasiakannya dari Endrico. Tapi.. Harus sampai kapan hm? Cepat atau lambat dia juga pasti akan mengetahuinya, jika bukan dari kita dia bisa saja tahu dari orang lain."

Aku terdiam, mencerna perkataan mamah yang memang benar adanya. Cepat atau lambat Koko pasti akan mengetahuinya.

"Setidaknya tetap rahasiakan sampai Fio siap buat jujur sama Koko."

"Baiklah, sesuai yang kamu katakan sayang. Kami mencintaimu." Ungkap mamah lalu disusul pelukan hangat darinya. Aku tahu mamah juga pastinya gak rela dengan semua ini, tapi mau bagaimana lagi, gak ada pilihan lain lagi bukan.

Malamnya, seperti malam-malam sebelumnya, tepat jam delapan malam Koko menghubungiku via WhatsApp. Aku hanya bisa menatap wajahnya dengan perasaan campur aduk, antara senang bisa mengobrol dengannya dan juga.. Sedih. Sedih memikirkan apa yang akan terjadi pada hubungan kami kedepannya jika aku sungguh menikah dengan laki-laki yang bahkan belum aku kenal itu.

"Kok kamu kelihatannya sedih gitu, kenapa? Coba cerita."

Sesempurna apapun aku menutupi kesedihanku darinya, Koko selalu saja menyadari itu. Dia memang yang paling memahami diriku.

Tapi kali ini aku tidak bisa jujur lalu mengatakan kebenaran yang sesungguhnya. Tidak, setidaknya untuk saat ini.

Aku hanya diam sambil lihatin Koko yang juga melihatku, kita saling pandang. Aku memutar otak buat mencari ide yang sekiranya bisa membuat Koko teralihkan dari pertanyaannya barusan.

"Ayo cerita!" Ulang Koko agak memaksa.

"Cerita ya?" Aku pura-pura berpikir sambil mengusap dagu. Kemudian sebuah ide muncul di kepalaku, otak maksudnya.

Sambil pura-pura nahan senyum di depan Koko, padahal aslinya udah mau mewek aja, tapi dikuat-kuatin aja biar Koko gak nanya ini itu yang aku takutkan akan berujung tidak sesuai keinginanku.

Karena aku gak mau kalau Koko sampai bersedih untukku, disaat dirinya juga tengah pusing dengan studinya. Atau yang lebih parah lagi Koko bisa saja menjauhiku.

Di sana, Koko cuma melihatku dengan kedua alis yang saling bertautan. Mungkin bingung melihat ekspresi wajahku yang berubah-ubah.

"Khem, cek cek cek."

"Mau bicara aja udah kayak yang mau--"

"Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat dulu kala.. " Sebelum Koko selesai berucap aku menyela perkataannya dengan nyanyian.

Koko mengatupkan bibirnya lalu beralih bertopang dagu. Fokus matanya tertuju padaku sepenuhnya, kita saling tatap dalam diam hingga aku meneruskan lirik lagu berikutnya.

Headmaster is my HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang